Pemerintah melonggarkan defisit anggaran melampaui 3%, demi menggenjot belanja penanganan pandemi COVID-19. Utang bisa membengkak dan membebani APBN di tahun berikutnya. Otak-atik anggaran tanpa melibatkan DPR.
Dua tahun ini, pemerintah tidak pernah mengubah APBN di tahun berjalan. Namun akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), anggaran berjalan di tahun ini pun terpaksa dirombak. Jika tidak, ekonomi Indonesia bisa luluh lantak. Sekalinya APBN berubah pada 2020 ini, asumsi belanja negara naik menjadi Rp2.613,8 triliun dari angka awal APBN 2020, yaitu Rp2.540,4 triliun.
Kenaikan belanja negara ini tidak diikuti kenaikan pendapatan. Sebaliknya, pendapatan negara tahun ini diprediksi menurun. Asumsi pendapatan negara di APBN perubahan 2020 diturunkan menjadi Rp1.760,9 triliun dari Rp2.233,2 triliun.
Sepanjang 2020, kenaikan defisit anggaran diproyeksikan sebesar Rp853 triliun atau setara 5,07% PDB. Defisit terparah sejak era reformasi. Tadinya, pemerintah menetapkan asumsi defisit di APBN 2020, yaitu Rp307,2 triliun atau 1,76% PDB.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, defisit anggaran 2020 masih bisa berubah. Jika perekonomian terus memburuk, tak menutup kemungkinan defisit anggaran 2020 melebar dari 5,07%. "Kami akan terus meng-update outlook APBN yang masih sangat mungkin berubah," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin lalu.
Di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebenarnya disebutkan bahwa defisit APBN tidak boleh melewati 3% PDB. Karena kondisi darurat wabah, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 pada 31 Maret lalu.
Di dalamnya, diatur defisit anggaran bisa di atas 3%. Pada Pasal 22 ayat Undang-Undang Dasar 1945, presiden memang diperbolehkan merilis Perppu jika negara dalam kondisi genting dan bahaya. Karena tidak dibatasi, pemerintah bisa leluasa menggelontorkan anggaran lebih banyak untuk penanganan COVID-19.
Per awal April, pemerintah sudah mengeluarkan tiga paket stimulus fiskal untuk melawan COVID-19. Nilainya masing-masing Rp8,5 triliun, Rp22,5 triliun, dan Rp405,1 triliun. "Kira-kira 2,5% dari GDP," ujar Sri Mulyani.
Adapun sumber pembiayaan paket stimulus penanganan COVID-19 berasal dari penghematan, relokasi anggaran APBN, dan utang. Misalnya, pemangkasan anggaran perjalanan dinas, belanja barang operasional dan pemeliharaan (BOP), honor, dana yang diblokir, hingga dari output dana cadangan. "Setidaknya, ada dana sebesar Rp62,3 triliun dari itu," ujar Sri seperti dilaporkan Qanita Azzahra dari GATRA.
Perppu darurat COVID-19 ini telah diserahkan pemerintah kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani, Kamis pekan lalu. Selama dua hingga tiga pekan ke depan, DPR akan membahas isi Perppu dan menetapkannya di sidang paripurna. Namun, belum lagi Perppu disetujui DPR, Jokowi langsung menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Uniknya, APBN-P tidak diatur dalam Undang-Undang APBN Perubahan.
Defisit negara melebar, utang pun membengkak. Di Perpres APBN-P 2020, disebutkan pembiayaan utang untuk belanja negara, naik hampir tiga kali lipat menjadi Rp1.006,4 triliun dibanding target awal. Perinciannya, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Neto Rp549,55 triliun, pinjaman neto Rp6,95 triliun, dan pandemic bond yang ditarget Rp449,8 triliun.
***
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, mengatakan bahwa orientasi penambahan belanja negara harus tepat sasaran. Misalnya, pemerintah menjalankan program bantuan langsung tunai sebesar Rp300.000 per keluarga. Penambahan anggaran juga perlu diarahkan untuk memperkuat dan menata UMKM. "Karena kalau yang besar-besar sudah enggak perlu bantuan kita. UMKM inilah, nadinya kita yang sesungguhnya sama sektor informal," ujarnya kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, setuju jika defisit anggaran dinaikkan hingga 5% PDB selama tiga tahun ke depan. Hal yang menjadi persoalan, jumlah pinjaman dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut dibatasi maksimal 60% dari PDB. "Akan mendorong pemerintah jorjoran berutang ke donor luar negeri, seperti IMF dan Bank Dunia, yang kerap mengintervensi kebijakan nasional," ujarnya.
Heri juga mempertanyakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Bank Indonesia (BI) yang mengatur kewenangan bank sentral membeli surat berharga negara di pasar primer. Adapun UU nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan, Bank Indonesia hanya menyerap SUN yang dilepas oleh investor di pasar sekunder. Jika BI agresif, pembelian SUN di pasar primer akan menimbulkan inflasi.
Menurut Heri, proses otak-atik anggaran penanganan COVID-19 juga kurang melibatkan DPR. Misalnya membuat Perppu, DPR hanya diberi hak konstitusional untuk menerima atau menolak. "Tidak ada hak amendemen, mengubah UU sebelum diterima," ujarnya.
DPR juga tidak dilibatkan dalam perubahan APBN. Penyebabnya, Perppu penanganan COVID-19 menyebutkan bahwa APBN-P bisa dibuat dengan Perpres. Heri pun menegaskan, DPR bisa saja tidak menyetujui Perppu penanganan COVID-19 jika DPR tidak dilibatkan. "Kami dari Fraksi Gerindra, prinsipnya memberikan persetujuan dengan catatan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020," ujarnya.
Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa pembelian SUN dan SBN merupakan pilihan luar biasa di tengah kondisi darurat COVID-19. BI dan pemerintah akan berkoordinasi untuk menerapkan aturan secara detail. "Kami siap susun mekanisme detail jumlah yang akan diserap. Masalah kaidah dan tata kelola akan dijaga,” ujarnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Tallatov mencatat, melebarnya defisit anggaran 5,02% akan meningkatkan utang negara. Di tahun-tahun berikutnya, APBN harus disisihkan lebih banyak untuk membayar utang. Saat defisit anggaran tidak mencapai 3% saja, pemerintah harus mengeluarkan 12% belanja pemerintah pusat pada anggaran 2018, untuk membayar bunga utang. "Itu meningkatkan risiko APBN," katanya.
Hendry Roris Sianturi