Ketika kita berbicara mengenai tokoh-tokoh olahraga Indonesia, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal Bob Hasan. Ini disebabkan oleh pengabdian dan pengorbanannya yang begitu besar bagi olahraga nasional, khususnya atletik. Rentang waktunya pun sangat panjang yaitu sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto sampai dengan Presiden Joko Widodo.
Ia adalah orang yang hatinya sungguh berada di dunia olahraga khususnya atletik. Jika seorang pelari mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai garis finis, yang dapat dilihatnya, maka Bob Hasan lebih dari itu. Ia mendedikasikan hidupnya di dunia olahraga tanpa garis finis.
Kerelaan Bob Hasan membina olahraga, walaupun dengan konsekuensi harus mengeluarkan milyaran rupiah dari kantongnya sendiri, dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama, ia ingin berbuat banyak bagi negara Indonesia melalui olahraga namun sadar bahwa pendanaan dari pemerintah sangat minim.
Kedua, ia melihat bahwa mayoritas atlet, terutama di cabang olahraga atletik, berasal dari keluarga-keluarga yang kurang mampu dalam ekonomi sehingga kualitas nutrisi dan tingkat pendidikannya pun kurang baik. Seiring dengan peningkatan prestasi, terbukti bahwa harkat kehidupan para atlet juga terangkat.
Keterlibatan Bob Hasan dalam organisasi olahraga dimulai pada 1978, ketika ia menggantikan Jenderal (Purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprojo sebagi Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Indonesia (PB PASI). Jabatan ini dipegangnya sampai hari ini yang berarti sudah lebih dari 40 tahun.
Kesetiaan dan pengabdiannya pada olahraga atletik tidak tanggung-tanggung dan tampaknya mustahil dapat ditiru oleh orang lain. Mulai dari membiayai keperluan organisasi, mendanai atlet-atlet di pemusatan latihan nasional termasuk memberikan bonus bagi atlet-atlet berprestasi, sampai pada merawat Stadion Madya Senayan sebagai episentrum kegiatan atletik nasional. Boleh dikatakan, semuanya menggunakan dana dari kantongnya sendiri walaupun dia sering mengelak dengan mengatakan ia dibantu oleh teman-temannya.
Stadion Madya sebagai pusat pengembangan atletik di Indonesia mempunyai kisah sendiri. Sebelum pengelolaannya diserahkan kepada PB PASI pada 1983, stadion yang dibangun bersamaan dengan Stadion Utama di dalam kompleks Gelora Senayan sebagai sarana Asian Games 1962 ini berfungsi sebagai arena judi balap anjing (anjing jenis greyhound).
Tontonan ini cukup digandrungi masyarakat pada saat itu, karena judi dan lotere belum dilarang. Namun setelah itu, stadion berkapasitas 15.000 penonton itu tidak terurus dan mungkin akan kembali difungsikan di luar kepentingan olahraga. Bob Hasan meminta restu dari Presiden Soeharto agar ia diizinkan mengubah Stadion Madya menjadi stadion atletik berstandar internasional sekaligus menjadi lokasi kantor dan pemusatan latihan nasional PB PASI.
Masih dalam periode waktu yang sama, Bob Hasan secara berani mengajukan Indonesia sebagai tuan rumah Kejuaraan Atletik Asia, padahal kondisi Stadion Madya ketika itu adalah sebuah bangunan olahraga tua tanpa lintasan, lapangan, serta peralatan atletik sama sekali. Pengelola resmi kawasan olahraga Senayan pada waktu itu adalah Yayasan Gelora Bung Karno.
Setelah mendapat persetujuan dan dukungan dari pemerintah, dimulailah renovasi Stadion Madya selama kurang lebih 1,5 tahun, sehingga mengubahnya menjadi sebuah stadion megah dan modern. Ada lintasan lari karet sintetis, pengukur waktu elektronik, lampu yang terang benderang, dan sistem audio yang spektakuler. Semua serba mutakhir dan pertama kali ada di Indonesia.
Alhasil, Kejuaraan Atletik Asia 1985 dapat terlaksana dengan sukses di stadion ini. Setiap hari selama penyelenggaraan, Stadion Madya dipenuhi oleh penonton yang rela membeli tiket. Begitu prestisiusnya kejuaraan ini, membuat Presiden Soeharto berkenan membukanya dan kemudian ditutup oleh Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Sejak saat itu, Stadion Madya dikenal sebagai stadion khusus untuk atletik.
Pada dasarnya, Bob Hasan adalah seorang yang menggemari banyak cabang olahraga, menguasainya, serta melakukannya sebagai hobi. Ia andal dalam bermain tenis, golf, catur, dan bridge, di samping tentunya berlari dan berenang. Pengetahuannya tentang olahraga juga luar biasa. Khusus atletik, Bob Hasan memahaminya dari A sampai Z.
Itulah sebabnya, ia tidak pernah menemukan hambatan untuk berdiskusi dengan para pelatih, atlet, dan wasit, bahkan dalam hal-hal teknis sekalipun. Tidak ketinggalan hal-hal kesehatan dan psikologi atlet menjadi fokus perhatiannya. Hal-hal yang dianggap orang lain sepele, seperti kesulitan buang air besar, pun tidak luput dari perhatian Bob Hasan sebagai ketua umum.
Ia tidak segan-segan membayar mahal pelatih-pelatih asing, bahkan yang terbaik, untuk datang ke Indonesia demi meningkatnya pengetahuan pelatih-pelatih lokal. Sederet atlet-atlet bintang juga ia undang untuk memberikan contoh kepada para atlet di pelatnas dan daerah.
Ketika pada awal tahun 1980-an jalur penerbangan belum senyaman sekarang, Bob Hasan mendatangkan segerbong atlet Jerman Barat untuk eksibisi di Jakarta dan bertamasya ke Kepulauan Seribu. Di antaranya terdapat pelompat tinggi jelita juara Olimpiade dua kali Ulrike Mayfarth.
PB PASI memiliki hubungan yang sangat erat dengan federasi atletik Jerman (DLV), yang dirintis jauh sebelum Jerman Barat dan Timur bersatu. Bob Hasan mengenal secara pribadi pengurusnya sehingga mudah meminta bantuan. Bayangkan, pada awal tahun 1980-an, Bob Hasan mampu membujuk salah seorang pelatih nomor lempar terbaik Jerman Barat untuk pergi ke Merauke dan tinggal di sana beberapa waktu.
Itulah sebabnya, dari kota di ujung timur Indonesia itu muncul atlet Frans Mahuse yang sempat memegang rekor SEA Games. Sudah seperti tradisi, Merauke melahirkan pelempar-pelempar lembing unggul Indonesia sampai kini.
Mengirim atlet nasional berlatih di luar negeri sudah dilakukan Bob Hasan sejak dulu. Selain dari Jerman dan negara Eropa Timur, banyak atlet Indonesia yang merasakan gemblengan pelatih-pelatih berkaliber dari Amerika Serikat. Salah satunya adalah Tom Tellez. Dialah orang yang melahirkan juara Olimpiade dan pelari 100 meter pertama di dunia yang mencatat waktu di bawah 10 detik Carl Lewis.
Melalui beberapa kali pengiriman atlet ke kota Houston, Indonesia pernah memiliki pelari-pelari andal dari beberapa generasi seperti Purnomo M. Yudhi, Emma Tahapari, Henny Maspaitella, Mardi Lestari, dan Irene Joseph.
Terakhir, tahun 2018, sejumlah atlet berlatih selama sebulan di Santa Barbara di bawah pengawasan Harry Marra, pelatih terbaik pilihan federasi atletik internasional AAF tahun 2016. Di dalam rombongan atlet ini terdapat Lalu Muhammad Zohri, Safwaturrahman, dan Emilia Nova yang kemudian berhasil menyumbangkan medali Asian Games 2018 bagi Indonesia.
Manis dan pahitnya prestasi olahraga atletik nasional sudah dirasakan oleh Bob Hasan. Tim atletik Indonesia pernah merajai SEA Games dengan perolehan 17 medali emas. Namun pernah juga terpuruk dengan hanya memenangkan satu medali emas ketika SEA Games berlangsung di Manila, Filipina. Baginya, pembinaan atletik adalah pekerjaan menanam.
Tidak mungkin kita memetik apa pun apabila kita tidak menanam dengan baik. Mencari bibit unggul ibarat mencari tambang emas. Banyak tempat yang harus digali namun belum tentu semuanya menghasilkan emas. Ditemukan atau tidak ditemukan, biaya harus dikeluarkan.
Itulah sebabnya, sejak dahulu PB PASI melaksanakan pemusatan latihan nasional jangka panjang. Selain Jakarta, Pengalengan di Jawa Barat dijadikan sebagai tempat latihan pelari-pelari jarak jauh karena terletak sekitar 1,500 meter dari permukaan air laut. Juara Asian Games 1998 nomor 5.000 meter putri Supriati Sutono, misalnya, ditempa di dataran tinggi ini.
Kesabaran Bob Hasan yang tidak mengenal lelah dalam mencari bibit atlet berbuah manis yaitu ketika secara mengejutkan pada 2018 atlet Lalu Muhammad Zohri berhasil menjadi juara dunia 100 meter putra yunior (U20). Prestasi ini terjadi di kota Tampere, Finlandia ketika berlangsung Kejuaraan Dunia Atletik U20 IAAF.
Pelari ini juga telah lolos kualifikasi Olimpiade 2020 di Tokyo. Keberhasilan Zohri ini adalah bagian dari perwujudan amanat Kongres PASI tahun 2016 di Sentul, Bogor, Jawa Barat, di mana ditargetkan pada 2020 atlet atletik Indonesia mampu merebut medali dalam Olimpiade.
Ia pun pandai bergaul sehingga sempat berkiprah di dalam organisasi-organisasi olahraga internasional. Tiga orang "penguasa" olahraga dunia saat itu yang dijuluki "Mafia Latin" adalah sahabat-sahabat kentalnya. Mereka adalah Juan Antonio Samaranch (Ketua IOC) dari Spanyol, Joao Havelange (Presiden FIFA) dari Brasil, dan Primo Nebiolo (Presiden IAAF) dari Italia.
Ketika pada tahun 2000 Bob Hasan ditahan oleh Kejaksaan Agung untuk pemeriksaan, Juan Antonio Samaranch mengirim surat kepada Presiden RI dan Jaksa Agung memohon penangguhan penahanan bagi Bob Hasan.
Berbagai posisi di tingkat internasional pernah dipercayakan kepadanya. Tahun 1991 sampai 2000 Bob Hasan adalah Presiden Asosiasi Atletik Asia yang beranggotakan 45 negara. Ia pun terpilih sebagai Council Member badan atletik dunia IAAF (1995-1999) dan Wakil Presiden International Weightlifting Federation (IWF). Pernah menjadi Senior Vice President Olympic Council of Asia atau 0CA (1988-1996) dan ditunjuk sebagai International Olympic Committee (IOC) Member dalam kurun waktu 1994 sampai dengan 2001.
Selama dua periode menjadi Presiden Asosiasi Atletik Asia (ketika itu bernama AAAA), Bob Hasan dikenal banyak membela negara-negara kecil, bahkan memberi dukungan biaya. Negara-negara pecahan Uni Soviet, yaitu Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Kyrgistan, tetap mengingat bantuan-bantuan yang mereka terima dari Bob Hasan ketika pertama kali bergabung dengan Asia.
Ia juga tidak segan-segan membantu biaya perjalanan dan uang saku delegasi negara-negara tertentu agar dapat hadir dalam rapat dan kongres. Setelah tidak menjabat di posisi ini lagi, sebagai Honorary Life President ia tetap memberi masukan. Bob Hasan kerap mengkritik perusahaan-perusahaan top dunia dari Asia yang memilih mensponsori kejuaraan-kejuaraan di bawah IAAF daripada AAA.
Meski sudah berusia senja, ia tetap disegani bagaikan "Godfather" atletik Asia. Presiden AAA, Dahlan al-Hamad, kerap menemui atau menelepon Bob Hasan untuk berkonsultas,i karena menghargai pengalaman serta kearifannya. Ketika pertama kali mencalonkan diri menjadi Presiden IAAF tahun 2015, Lord Sebastian Coe datang khusus dari London menemui Bob Hasan di kediamannya hanya untuk mendapat dukungan dari negara-negara Asia. Sebastian Coe bersaing dengan Sergey Bubka, yang sudah terlebih dahulu memiliki hubungan yang akrab dengan Bob Hasan.
Sekitar tahun 1988, Bob Hasan meminta IAAF agar membuka kantor RDC (regional development center) di Jakarta. Negara-negara anggota AAAA termasuk Indonesia memperoleh manfaat melalui seminar dan pelatihan yang diadakan di kantor RDC Jakarta. Inisiatif Bob Hasan ini menjadi berkah bagi pelatih dan wasit dari negara-negara kecil seperti Sri Lanka, Irak, Maladewa, Bhutan, dan Nepal. Mereka bisa memiliki sertifikat yang dikeluarkan IAAF secara berjenjang.
Hal ini berbeda dengan RDC di Beijing, yang lebih banyak melayani negara-negara mapan seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Direktur RDC Jakarta yang pertama adalah sprinter veteran Asian Games 1962 Jotje Gozal.
Bob Hasan juga memprakarsai terbentuknya Asosiasi Atletik Asia Tenggara (SEAAA) pada 2005 di Manila sebagai keprihatinan setelah melihat penurunan kualitas dan kuantitas peserta SEA Games dari waktu ke waktu. Dengan wadah baru itu, atlet-atlet remaja Asia Tenggara memiliki perhelatan setiap tahun yang dinamakan Southeast Asian Youth Athletics Championships.
Tentang antusiasmenya di dalam organisasi olahraga internasional, Bob Hasan pernah menyebutkan bahwa kita harus terlibat dalam "politik olahraga" agar dapat membela kepentingan nasional dan regional. Misalnya, ia termasuk orang yang gigih memperjuangkan one country one vote dalam kongres IAAF sehingga negara-negara Asia dan Afrika sederajat dengan negara-negara Eropa dalam hak suara.
Ia pernah memberi contoh politik olahraga dalam olahraga hoki. Lapangan hoki berubah dari rumput alam menjadi rumput sintetis disebutnya sebagai akal-akalan negara-negara Eropa agar dominasi olahraga ini berpindah dari Asia (India dan Pakistan) ke Eropa. Sebabnya, harga lapangan sintetis sangat mahal dan negara-negara Asia tidak mampu membelinya.
Bob Hasan adalah orang yang memulai lomba lari jalan raya (road race) berhadiah uang di negeri ini. Dengan tujuan memperkenalkan tempat-tempat tujuan wisata di Indonesia, pada 1987 ia menyelenggarakan Bob Hasan Bali 10K, sebuah perlombaan lari berjarak 10 kilometer dengan hadiah uang yang menarik termasuk bonus US$1 juta bagi yang mampu memecahkan rekor dunia.
Berhubung besarnya hadiah yang diperebutkan, perlombaan ini juga dinamai The World Richest Run. Ia mengundang pelari-pelari elite dunia seperti Arturo Barrios dari Meksiko) dan Elizabeth McColgan dari Inggris untuk menjadi peserta. Perlombaan ini dilaksanakan tiap tahun dan berpindah-pindah tempat.
Setelah tiga kali mengambil tempat di Bali dan tiga kali di Yogyakarta (Bob Hasan Borobudur 10K), akhirnya rekor dunia (masih disebut world best time) dipecahkan di Jakarta dalam Bob Hasan Jakarta 10K pada 1994. Atlet asal Ethiopia bernama Addis Abebe yang melakukannya, dan digondollah hadiah bonus yang Bob Hasan sediakan.
Ide membuat lomba lari berhadiah ini mendorong menjamurnya perlombaan serupa di seluruh Indonesia. Maka jangan heran apabila di sekitar kita kini tidak ada weekend tanpa perlombaan maraton, half marathon, 10K, dan sebagainya. Bob Hasan juga pernah menyelenggarakan perlombaan serupa tetapi untuk nomor-nomor pertandingan di dalam stadion.
Nama kejuaraannya adalah Bob Hasan Invitational Meet. Melalui ajang ini, penggemar atletik di Jakarta saat itu dapat menonton langsung aksi legenda sekaligus pemegang rekor dunia Sergey Bubka (lompat galah) dan Lars Riedel (lempar cakram).
Bob Hasan tercatat sebagai satu-satunya orang yang pernah menjabat sebagai ketua umum lima induk cabang organisasi di Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Itu terjadi pada akhir tahun 1980-an. Selain PB PASI, ia juga memimpin PB PABBSI (Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat dan Binaraga Indonesia), PB PERPANI (Persatuan Panahan Indonesia), PB Persani (Persatuan Senam Indonesia), dan PB Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia). Pada masa itu, Bob Hasan sering berkata bahwa bisnis adalah hobinya sementara pekerjaan utamanya adalah mengurus olahraga.
Di kemudian hari, Bob Hasan menyerahkan kepemimpinan induk-induk cabang olahraga tersebut kepada orang-orang lain tetapi tetap bertahan di PB PASI yang merupakan cinta pertamanya. Bob Hasan pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar PASI merangkap sebagai Ketua Umum Pengurus Daerah Timor Timur. Hal ini dilakukannya mengingat Timor Timur adalah provinsi termuda yang memerlukan perhatian khusus.
Semua cabang olahraga yang dibinanya itu mengalami peningkatan prestasi dalam tingkat internasional. Adalah cabang olahraga panahan yang pertama kali menyumbangkan medali Olimpiade bagi negara Indonesia dan sejarah itu diukir pada era olahraga panahan di bawah binaan Bob Hasan.
Kita niscaya mengingat bahwa dalam Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan, Trio Srikandi (Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani) membuat kejutan besar dengan merebut medali perak nomor beregu. Dalam Olimpiade yang sama, dalam cabang atletik, pelari 100 meter Mardi Lestari berhasil menembus semifinal.
Empat tahun sebelumnya, dalam Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, Purnomo M. Yudhi juga mencatat hasil yang sama di nomor yang sama yang merupakan prestasi tertinggi atletik Indonesia selama mengikuti Olimpiade hingga saat ini.
Sebagai ganjaran atas dedikasinya dalam olahraga atletik, bermacam-macam penghargaan sudah diterima Bob Hasan. IAAF menganugerahkan Veteran Pin (1993) dalam kongresnya di Stuttgart, Jerman yang kemudian diikuti oleh penyerahan Plaque of Merit (1999) di Sevilla, Spanyol. Di tingkat Asia dan nasional beberapa kali ia diberi penghargaan sebagai ketua umum dan pembina terbaik.
Tigor Tanjung
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar (PB) Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI)