Home Laporan Khusus Bos Kecil Pelopor Industri Kayu

Bos Kecil Pelopor Industri Kayu

Perkenalan Bob Hasan dengan industri kayu dimulai dari operasional Georgia Pacific di Kalimantan Timur. Mendapat kepercayaan memimpin di perusahaan itu hingga akhirnya melahirkan ekosistem industri kayu di Tanah Air. 


"Saya memiliki prinsip be a small boss rather than be a big slave (lebih baik jadi bos kecil daripada jadi budak besar)," demikian jawaban Bob Hasan saat menjawab pertanyaan Direksi Georgia Pacific, Grey Evans. Ketika itu, sekitar awal dekade 1980-an, pria yang akrab disapa Bob Hasan itu mendapatkan tawaran bergabung di perusahaan pulp dan kertas berbasis di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat tersebut.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII itu sebenarnya tidak keberatan bergabung, sepanjang memang tidak menjadi karyawan. Medio 1967, Bob Hasan ikut bergabung membenahi operasional perusahaan kehutanan terbesar kelima di dunia yang berlokasi di Kalimantan Timur itu. Pasalnya, setiap tahun operasi di Indonesia tidak berjalan baik dan terus merugi sekitar US$1 juta.

Saat Bob Hasan masuk, Georgia Pacific berencana membuat perusahaan patungan. Tanpa rasa malu, ia memberanikan diri meminjam modal lebih dulu untuk mendapat jatah 10% saham. Mereka sepakat dengan syarat ia harus turut membantu operasi perusahaan. Namun mereka tetap mempercayakan operasional kepada 370 manajer asal Filipina dan 50 eksekutif dari AS.

"Saya sudah masuk ke Georgia Pacific, ternyata kondisi perusahaan tak kunjung membaik," kata Bob Hasan seperti dikutip dari buku memoar terbarunya Founding Fathers dan Aku. Kerugian tetap dihadapi lantaran banyak ganggguan operasional di lapangan. Birokrasi telah membuat perusahaan itu menghadapi beberapa hambatan.

Kantor pusat Georgia Pacific pun angkat tangan dan menyerahkan pengelolaan perusahaan sepenuhnya kepada Bob Hasan. "Saya benar-benar diserahi tanggung jawab untuk menjalankan kegiatan operasi di lapangan," tutur pria kelahiran Semarang, 24 Februari 1931, tersebut.

Bob Hasan kemudian melibatkan pasukan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat yang sudah menjalani masa persiapan pensiun. "Pemikiran saya sekaligus mempersiapkan lapangan kerja baru setelah mereka benar-benar pensiun," ungkapnya. Rupanya, jalan itu ampuh. Mereka disegani aparat keamanan di Kalimantan Timur sehingga gangguan yang sebelumnya dihadapi saat operasi perusahaan pun tidak ada lagi.

Namun, Georgia Pacific pun memutuskan mengakhiri operasinya di Indonesia. Mereka pun meminta Bob Hasan untuk membeli seluruh saham yang mereka miliki. "Saya sangat senang mendapat tawaran seperti itu. Hanya saya harus mengakui tidak memiliki dana cukup untuk membeli seluruh saham," kata dia. Akhirnya ia terbang ke Portland, markas besar perusahaan itu, untuk membicarakan rencana pengambilan seluruh saham tersebut.

Anak angkat Jenderal Gatot Soebroto itu meminta kelonggaran dalam pembayarannya. Bahkan ia meminta untuk membayarnya dengan hasil produksi. "Sebagai penjual produk-produk kayu di AS, Georgia Pacific tentu butuh produk dari Indonesia," ujar dia. Tawaran itu diterima, Bob Hasan benar-benar mencapai mimpinya menjadi a small boss alias bos kecil.

Inilah awal mula “bos kecil” ini mengenal industri kayu sampai akhirnya bisa mendapat gelar “Raja Hutan”. Tantangan pria yang dekat dengan Presiden Soeharto itu adalah harus mengembangkan perusahaan yang didapatnya tadi. Ketika itu, dari semula yang hanya memiliki sekitar 300.000 hektare konsesi hutan, ia akhirnya mampu mengembangkannya hingga 2 juta hektare.

Meski demikian, penjualan kayu di Indonesia tidak optimal. Karena hanya dijual secara gelondongan dan tanpa nilai tambah lebih. Devisa ekspor kayu gelondongan itu, menurutnya, sangat minim. Memang kondisi ketika itu, tidak ada satu pun pabrik plywood di Tanah Air. "Saya berbicara kepada Presiden Soeharto, meminta agar ekspor kayu gelondongan disetop. Indonesia harus membangun industri hasil hutan untuk menampung jutaan tenaga kerja," tutur Bob Hasan.

Pada tahun 1970-an itu beberapa negara sudah memilikinya, sebut saja Jepang yang punya 450 pabrik, Taiwan 135 pabrik, dan Korea Selatan memiliki 60 pabrik. Bahkan Singapura yang tidak memiliki hutan pun mempunyai 48 pabrik plywood. "Mereka mendapatkan kayu gelondongan dari Indonesia dengan harga sangat murah dan itu masih ditekan lagi dengan berbagai alasan," ia mengungkapkan.

Presiden Seoharto pun menyuruh Bob Hasan menemui Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof Widjojo Nitisastro. “Saya diminta untuk membicarakan ide itu dan dikaji kelayakannya," ujarnya. Namun Prof. Widjojo menyebut tidak mungkin melarang ekspor kayu gelondongan. Sebab hal itu melanggar aturan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang kini bernama World Trade Organization (WTO).

"Lalu saya menyampaikan ide lain. Yaitu mengenakan pajak ekspor untuk kayu gelondongan. Pemerintah setuju. Besar tarif pajak ekspor bermacam-macam," ungkap Bob Hasan. Misalnya, untuk kayu eboni yang mewah dan langka, dikenakan pajak ekspor US$ 4.800 per meter kubik. Kayu jati dikenai pajak ekspor US$ 1.000 per meter kubik dan meranti US$ 500 per meter kubik.

Dampak setelah beleid itu diterapkan, industri perkayuan Indonesia tumbuh pesat. Pabrik plywood, industri mebel, dan kerajinan dari bahan baku kayu pun berdiri di berbagai daerah. Industri ini mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tenaga kerja tak langsung.

Bagi pengusaha kayu, mereka pun bisa menikmati harga kayu lapis mencapai US$620 per meter kubik. Sedangkan bagi pemerintah, ekspor ini menghasilkan devisa sebesar US$5 miliar per tahun. "Efisiensi tinggi ini membuat industri kayu di negara lain satu per satu gulung tikar, hanya beberapa perusahaan di Jepang mampu bertahan," tutur Bob Hasan.

Nah, agar aturan main industri ini berkesinambungan, Bob Hasan kemudian menggagas kelahiran Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) yang menaungi sembilan asosiasi industri kehutanan. Bob Hasan ketika itu juga didapuk sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo). "Saya mencoba mengajak para penguasa untuk lebih cerdas berbisnis. Pengusaha harus bekerja sama agar tak mematikan satu sama lain dan akhirnya merugikan kepentingan negara," ia mengungkapkan.


Birny Birdieni