Lewat pemikirannya yang strategis, pengusaha kayu di Indonesia bisa bersaing dengan pemain asing. Aktif kampanye pengelolaan hutan berkelanjutan. Usahanya melebar hingga ke sektor media.
Dekade 1990-an menjadi puncak kesuksesan bisnis Mohammad "Bob" Hasan, khususnya di sektor kehutanan. Lahan konsesinya menggelembung dari 300.000 hektare menjadi hampir 2 juta hektare. Perusahaannya menjadi pengekspor kayu lapis terbesar dari Indonesia. Dari bisnis yang digelutinya, ia pun aktif berorganisasi di Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) dan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo).
Sebagai Ketua Umum APHI juga Apkindo, Bob mengajak para pengusaha untuk lebih cerdas dalam berbisnis. Para pengusaha harus bekerja sama agar tidak saling mematikan satu sama lain dan akhirnya merugikan kepentingan negara. Berkat pengalamannya yang panjang, ia menyadari dengan kekuatan pasar yang dimiliki, banyak negara lain mencoba mengadu domba para pengusaha. Mereka mengiming-imingi harga yang lebih baik untuk merusak pasar Indonesia.
"Saya selalu mengingatkan para pengusaha untuk tidak mau diadu satu sama yang lain. Karena pengelolaan hutan dilakukan pengusaha skala besar, maka mereka tidak berani untuk bermain-main. Dengan banyaknya karyawan yang hidup di perusahaannya, mereka dipaksa untuk mengelola perusahaan secara benar agar tidak menyusahkan para karyawannya," tutur Bob Hasan dalam buku Founding Fathers dan Aku (2020), terbitan Gatra Pustaka yang disunting Suryopratomo.
Melalui asosiasi ini, Bob membagi kuota penjualan kepada para anggota. Selanjutnya diterapkan disiplin dalam produksi dan ekspor agar bisa mendapat harga premium. Dengan harga premium, jumlah pohon ditebang tidak perlu terlalu banyak, tetapi seluruh pengusaha mendapatkan penerimaan optimal.
Namun, upaya mendominasi pasar ini membuat Indonesia dikritik. Indonesia dinilai menerapkan praktik kartel yang dilarang oleh WTO. Menurut Bob, untuk merusak dominasi Indonesia di pasar kayu lapis, para pesaing pun melemparkan isu tentang perusakan hutan. "Padahal jika dikaji lebih mendalam, siapa sebenarnya perusak hutan itu. Ketika Indonesia masih menjual kayu gelondongan dan negara-negara lain menampungnya, jumlah penebangan pohon sulit untuk bisa dikendalikan," tuturnya.
Negara-negara penampung kayu gelondongan asal Indonesia tidak pernah peduli terhadap perusakan hutan. Namun ketika jumlah pohon yang ditebang dikendalikan pemain lokal, justru isu perusakan hutan yang dilemparkan.
Sebagai Ketua Umum APHI dan Apkindo, Bob mendatangi parlemen Uni Eropa di Strasbourg, Prancis, untuk menjelaskan semua tuduhan yang disampaikan. Negara-negara yang menuduh Indonesia melakukan perusakan hutan, tidak bisa lagi menyalahkan ketika ditunjukkan fakta-fakta yang sebenarnya. "Saya sampaikan dengan model industrialisasi kehutanan yang diterapkan di Indonesia, justru pengelolaan hutan bisa lebih berkelanjutan (sustainable)," katanya.
Kampanye itu sukses. Bahkan Bob Hasan menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan. Ia diundang Pangeran Phillips ke Istana Buckingham di London, Inggris, karena menjadi anggota kehormatan World Wildlife Fund (WWF).
Namun, semua kerja keras berpuluh tahun yang menjadikan Indonesia pemain utama industri kehutanan, sirna ketika terjadi krisis keuangan pada 1997. Sebagai bagian dari kepentingan negara besar, Indonesia dipaksa oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membatasi peran APHI dan Apkindo dengan tuduhan melakukan praktik kartel.
***
Selain merambah ke industri hilir hutan seperti kayu lapis dan pulp, Bob meluaskan sayap bisnisnya ke berbagai sektor, seperti otomotif, asuransi, dan keuangan. Ia juga berekspansi ke bisnis media dengan mendirikan majalah GATRA.
Majalah GATRA lahir sebagai akibat pemberedelan majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik pada 21 Juni 1994. Pemberitaan Tempo mengenai perselisihan antara Menristek BJ Habibie dan Menkeu Mar’ie Muhammad, terkait pembelian kapal perang bekas buatan Jerman Timur yang dimuat pada edisi 11 dan 18 Juni 1994, membuat Presiden Soeharto geram.
Setelah Tempo diberedel, Bob menyiapkan perusahaan baru bernama PT Era Media Informasi untuk menampung wartawan eks-majalah Tempo. Lahirlah Majalah GATRA dengan izin penerbitan SIUPP bernomor 297SKMempenC.194 pada 22 Oktober 1994. Sekitar 80 dari 240-an karyawan majalah Tempo bergabung.
Adapun pemberian nama Gatra tidaklah mudah. Gatra diangkat dari sebuah khazanah bahasa bangsa yang tidak mencerminkan simbol golongan, mudah diingat, mudah diucapkan, dan singkat ditulis. Maknanya pun bersahaja, yakni kata, wujud, dan sudut pandang.
Majalah GATRA sempat menduduki peringkat pertama sumber informasi yang dipilih responden dan mendapat simpati dari masyarakat, terutama saat terjadinya kerusuhan yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada Mei 1998. Sebagai pendiri, Bob dikenal tidak ikut cawe-cawe urusan redaksi.
Di sisi lain, sebagai pengusaha yang lekat dengan dunia militer, Bob juga ingin menanamkan rasa nasionalisme pada anak-anak generasi baru. Ia ingin generasi penerus bangsa mengetahui perjuangan para pahlawan bangsa, seperti Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Soebroto, Jenderal Ahmad Yani, hinggga Letkol Slamet Riyadi.
Lewat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI), Tigor Tanjung, ide dasar Bob Hasan ini sampai di telinga ilustrator komik Tommy Thomdean.
Kepada Bob, Thomdean mengusulkan ide membuat komik dengan tokoh fiksi yang memasukkan karakter pahlawan nasional, seperti Jenderal Gatot Subroto, Jenderal Sudirman, dan pahlawan lainnya.
Bob menerima ide itu karena visinya sama, yaitu menumbuhkan semangat nasionalisme bagi generasi muda lewat medium komik dan sejarah, terutama perang kemerdekaan 1944-1949.
Dalam prosesnya, Thomdean menggandeng penulis naskah Edna Carolina. Lahirlah tokoh fiksi si Bagas seorang pejuang dan tentara pelajar. Komik ini diproduksi oleh PT Era Media Informasi bekerja sama dengan Caravan Studio. Tigor Tanjung menjadi editornya.
Edisi pertama Kisah Petualangan Bagas adalah Misteri Makam Paneleh, terbit Juli 2014. Dalam edisi pertama ini, hadir tokoh pahlawan nasional Jenderal Gatot Soebroto yang melatih pasukan komando.
"Dalam proses pengembangan komik ini, saya melakukan riset dan survei hingga ke Blitar untuk bertemu para veteran perang. Saya juga ke Banyumas, bertemu dengan ajudan Slamet Riyadi untuk menggali data pendukung. Tim juga didukung Dinas Sejarah TNI AD," tutur Thomdean pada GATRA, Rabu lalu. Komik pahlawan ini terbit hingga enam edisi pada 2014-2015.
Rosyid