Meski sudah berjaya, Bob Hasan tak melupakan asal-usulnya. Kekayaan dan kuasa, ia manfaatkan untuk mendorong masyarakat kecil di desa lebih sejahtera.
Di usia senja, pengusaha nasional Mohammad Hasan bukannya pensiun dan istirahat. Ia lebih memilih menjalankan kegiatan filantropi. Bob Hasan, begitu ia kerap dipanggil, lebih sering pergi ke daerah, berkeluyuran ke kampung-kampung. Bukan mencari peluang bisnis, tujuannya ingin memberdayakan masyarakat udik atau desa pelosok.
Bob memang punya keterikatan dengan desa. Ia sendiri adalah orang udik yang tumbuh besar di Desa Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Orang tuanya menitipkan Bob kecil yang sakit-sakitan kepada Jenderal Gatot Subroto. Ia dan keluarga jenderal hidup di kaki Gunung Sindoro. Tak heran, ketika mapan, ia pulang kampung membangun desa.
Yang paling mutakhir, beberapa tahun belakangan, Bob menghidupkan kembali pusat perekonomian di Desa Cilongok, Kabupaten Banyumas. Dahulu, Banyumas ini merupakan sentra gula merah andalan nasional. Salah satu pemasoknya, ya Desa Cilongok ini.
Namun, kini di desa itu, tukang penderes nira tersisa 1-2 orang saja. Regenerasi penderes mandek karena pekerjaan ini tidak diminati kaum muda. Selain tidak menguntungkan, tingginya angka kecelakaan kerja juga menjadi pemicu. "Dulu memang terkenal dengan produksi gulanya, karena dulu banyak penderes, tapi beberapa tahun ini agak berkurang. Pohonnya juga sudah tua," kata Sekretaris Desa Cilongok, Puji Rahayu Tri Setyaningsih.
Di Banyumas, rata-rata terjadi 160 kasus penderes nira terjatuh yang berujung pada kematian dan cacat fisik setiap tahunnya. Risiko tak sebanding dengan pundi rupiah yang didapat penderes. Akibatnya, produksi gula skala rumahan tak punya bahan baku. Satu per satu, usaha pembuatan gula merah di Cilongok pun gulung tikar.
***
Bob yang menjabat Dewan Pembina Yayasan Damandiri berharap, industri gula merah skala rumahan di Cilongok kembali bangkit lewat program Pengusaha Bapak Asuh Desa.
Menurutnya, ada dua masalah yang perlu diurai. Pertama, produktivitas rendah. Ini terjadi lantaran usia pohon kelapa sudah tua dan masa produktifnya sudah lewat, sedangkan peremajaan pohon nyiur tidah dilakukan. Akibatnya, perolehan nira sebagai bahan baku pembuatan gula merah juga sedikit.
Untuk mengatasai ini, Damandiri menghibahkan 3.000 bibit kelapa varietas unggul kepada para penderes nira. Jenis yang disebar adalah varietas kelapa pandan wangi, bido, dan genjah. Ketiganya merupakan jenis kelapa yang memiliki postur pendek dan lekas berbuah. Postur pendek ini untuk mereduksi risiko jatuh dari ketinggian.
"Kita kasih bibit yang tingginya cuma satu meter sudah bisa berbuah. Jadi, enggak perlu naik pohon kelapa yang tinggi lagi untuk mengambil niranya," kata Bob.
Tantangan kedua, penderes nira serta perajin gula tidak sejahtera. Rantai distribusi yang panjang dari petani hingga konsumen akhir (end user) terlampau panjang. Gula merah produksi buatan mereka dijual ke pengepul atau tengkulak, lalu disalurkan ke distributor besar untuk kemudian dijual ke konsumen. Dari proses ini, petani hanya mengutip sedikit profit.
"Kami membantu membuatkan pabrik gula merah dan membagikan bibit kelapa kepada masyarakat Cilongok," ujar Bob pada pertengahan September 2019. Kala itu, pembangunan pabrik sudah 80%, tinggal memasang alat-alat produksi saja.
Bangunan pabrik tersebut berukuran 11x8 meter dengan kapasitas produksi 500 kilogram per hari. Untuk mencapai jumlah tersebut, dibutukan 2.000 liter nira setiap harinya.
Tak jauh dari lokasi pabrik gula, Damandiri juga membangun pabrik pengolahan singkong menjadi tepung tapioka. Luasnya 12x8 meter persegi dengan kapasitas produksi satu ton per hari. Jika terealisasi, pabrik tapioka ini akan menjadi industri pengolahan singkong pertama di Cilongok. Setelah diolah, tentu ada nilai tambah bagi koperasi. Ya, selain gula, budi daya singkong di kampung ini juga potensial dikembangkan.
Untuk mendorong kegiatan produksi, Damandiri membuatkan koperasi. Bob ingin menggandeng para pemuda di sana agar berwirausaha. Anak-anak muda itu diamanahi mengelola koperasi dengan memberi pelatihan terlebih dahulu. Tugas koperasi adalah mengelola pabrik serta memangkas rantai pasokan, agar penderes punya selisih keuntungan lebih besar dibanding menjualnya kepada pengepul. "Penghasilannya bisa bertambah dan meningkatkan kesejahteraan petani," ucapnya.
***
Selain di Banyumas, Bob juga melakukan pemberdayaan di Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Samiran, Kecamatan Selo. Lewat Yayasan Damandiri, ia menyulap Desa Samiran di kaki Gunung Merbabu itu menjadi kampung wisata. Desa ini menjadi lokasi favaorit para pendaki untuk menginap, berkat program Homestay Damandiri.
Sejak menjadi desa wisata, kehidupan warga juga sangat berubah. Banyak pelancong datang, tak hanya dari dalam negeri, wisatawan dari luar negeri juga tak kalah banyak. Mereka cukup membayar Rp150.000 untuk bisa menginap di homestay.
Kedatangan wisatawan tentu mengerek perekomian warga Samiran. Sukadi (54 tahun), pemilik homestay Indah Lestari di Kampung Homestay Damandiri, mengaku pendapatannya naik 10 kali lipat.
Damandiri merenovasi rumah Sukadi dan warga lainnya pada 2017 silam. Rumah yang awalnya berupa bangunan semipermanen dan terbuat dari gedek serta berlantaikan tanah, diubah menjadi rumah permanen.
Selain merenovasi bangunan, Damandiri juga mengenalkan internet, agar warga Samiran dapat mempromosikan desanya hingga ke luar negeri. Wisatawan asing rata-rata datang setelah melihat situs web www.homestaymerapi.com atau melalui aplikasi penjualan travel secara daring.
Sebelum jadi desa wisata, mayoritas warga adalah petani tembakau dengan penghasilan hanya Rp1,6 juta per enam bulan atau sekitar Rp260.000 per bulan. Kini, mereka mampu menghasilkan hingga Rp2 juta per bulan. "Kami berterima kasih sekali kepada Pak Bob Hasan dan Yayasan Damandiri yang telah membantu membangun homestay," ujar Sukadi.
Putri Kartika Utami dan Arief Koes Hernawan (Boyolali)