Karena kedekatannya dengan sejumlah menteri bidang ekonomi, Bob Hasan dipercaya Soeharto untuk terlibat dalam rapat-rapat tim ahli ekonomi bentukan Presiden. Sebagai bagian dari tim Opsus, ia turut membantu suksesnya perdamaian Indonesia-Malaysia.
Gerakan 30 September 1965 menjadi salah satu titik keterpurukan Indonesia. Tak hanya mengoyak secara politik, tetapi juga meruntuhkan ekonomi dalam negeri.
Saat itu, utang luar negeri mencapai US$2,358 miliar. Sekitar 42% merupakan utang pada Uni Soviet, 10% pada Jepang, dan 7,5% kepada Amerika Serikat. Pembayaran utang-utang itu dijadwalkan selama tujuh tahun, mulai 1966. Selain itu, Indonesia masih harus membayar kompensasi perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasi. Inflasi mencapai 650%, tertinggi sepanjang sejarah.
Di akhir masa kepemimpinannya, Presiden Soekarno sebenarnya telah menyiapkan program perbaikan ekonomi. Namun sayang, program yang diluncurkan pada 28 Maret 1963 itu tidak berhasil direalisasikan.
Lewat Sidang Istimewa MPRS Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai penjabat presiden menggantikan Soekarno. Penunjukan ini dilanjutkan dengan pengukuhan Soeharto sebagai presiden, setelah Sidang Umum MPRS pada 27 Maret 1968 menolak pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan Nawaksara. Sebagai tentara yang karirnya terus melejit hingga menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), salah satu prioritas Soeharto tentu saja kepentingan prajurit TNI.
"Saya menyaksikan sendiri bagaimana Pak Harto mengatur "pendapatan" yang bersumber dari pengusaha kenalannya, untuk diberikan pada prajurit ABRI atau untuk yayasan yang nantinya diberikan kepada mereka yang membutuhkan," demikian tulis almarhum M. Hasan atau yang lebih dikenal sebagai Bob Hasan, seperti dikutip dari buku Founding Fathers dan Aku (Gatra Pustaka, 2020).
***
Suatu hari, Kepala Staf Kostrad, Brigadir Jenderal Tjokropranolo, bercerita kepada Presiden tentang seorang pengusaha yang izin impor cengkihnya kedaluwarsa dan berharap bisa mendapat perpanjangan. Apabila Kostrad bisa membantu, pengusaha itu berjanji akan memberikan Rp75 juta.
Pengusaha yang bernama Liem Sioe Liong (belakangan lebih dikenal dengan nama Sudono Salim), berencana mengimpor 40.000 ton cengkih dari Madagaskar dan Zanzibar. Ia adalah Direktur Utama PT Mega. Komisaris Utama di perusahaan ini, yakni ayah Fatmawati Soekarno, Hasan Din.
Sebelumnya, surat izin impor diperoleh PT Mega dari Menteri Perdagangan Kabinet Ampera III, Adam Malik. Soeharto meminta Hasan membantu pengurusan ini, sebab ia dianggap dekat dengan Menteri Perdagangan kala itu, Achmad Yusuf.
"Saya lalu mengambil dokumen tersebut dan membawanya ke Yusuf, di kantor yang berlokasi di Tanah Abang," tulis Hasan. "Saya meminta Yusuf membantunya. Tanpa butuh waktu lama, surat izin baru ditandatangani.”
Ketika bertemu langsung dengan Liem, Hasan lantas menolak menyerahkan surat perpanjangan tersebut jika sumbangan yang diberikan hanya Rp75 juta. Menurutnya, itu tidak adil. Ia sudah menghitung, besar laba dari ekspor itu bisa mencapai Rp15 miliar. Maka Hasan meminta agar Kostrad mendapat bagian lebih besar, yakni Rp8 miliar dan sisa Rp7 miliar untuk Liem. Formula ini disetujui oleh Liem.
Soeharto lantas memerintahkan sumbangan dibagi dalam empat lembar cek, masing-masing senilai Rp2 miliar. Keempat cek itu dibagikan ke Kodam Jaya, Kodam Diponegoro, Kodam Brawijaya, dan Kostrad. Dana itu dipakai untuk membantu logistik pasukan yang saat itu sedang memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI).
***
Setelah stabilitas politik dan keamanan mulai terbangun, Soeharto mulai merancang program perbaikan ekonomi. Pada 10 Juni 1968, Soeharto mengumumkan susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I.
Pada 15 Juni 1968, dibentuk tim ahli ekonomi yang terdiri atas Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof. Dr. Moh Sadli, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof. Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Mereka merupakan ahli ekonomi didikan Barat yang lebih dikenal sebagai "Mafia Berkeley". Rapat pertama tim ini dihadiri oleh para anggota tim Operasi Khusus (Opsus), termasuk Hasan.
Selain stabilitas dalam negeri, Soeharto meyakini bahwa pembangunan Indonesia juga membutuhkan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, politik "Ganyang Malaysia" mulai ditinggalkan.
Sesungguhnya, secara diam-diam, jauh sebelum diangkat sebagai presiden, Soeharto telah menugaskan tim Opsus untuk membuka kemungkinan menghentikan pertempuran dan menormalisasi hubungan dengan Malaysia. Hasan bersama Abdul Rachman Ramli, Bambang Trisulo, dan Benny Moerdani, mendapat tugas untuk menjalin kontak dengan Malaysia.
Ini merupakan tugas sulit, sebab Indonesia sedang "berperang" dengan Malaysia. Hasan lantas menghubungi Des Alwi, seorang nasionalis Indonesia yang hijrah ke Malaysia, karena berseberangan dengan Soekarno.
Kontak pertama dengan tokoh Malaysia bernama Tun Muhammad Ghazali Shafie, dilakukan dengan bantuan Alwi. Ghazalie adalah orang dekat Menteri Pertahanan Malaysia yang kelak menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia, Tun Abdul Razak.
Hasan berangkat ke Malaysia lewat Thailand dengan berpura-pura sebagai pedagang. Dari Bangkok, ia dan tim bertemu dengan Ghazalie, menjelaskan tugas mereka untuk menyudahi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Razak juga menyambut baik inisiatif tersebut. Misi ini sukses. Kedua negara lantas menandatangani perjanjian damai pada 11 Agustus 1966.
Soeharto kemudian memerintahkan Menteri Luar Negeri, Adam Malik, untuk merintis upaya pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Alhasil, pada 8 Agustus 1967, ASEAN resmi berdiri.
***
Dalam rangka kerja sama ASEAN, Soeharto mendorong pertumbuhan kawasan dengan membantu menyelesaikan konflik bersenjata di sejumlah negara Asia Tenggara. Salah satunya, konflik Thailand Selatan yang mayoritas berpenduduk Melayu-Islam.
Hasan kerap ditugaskan untuk menjalankan sejumlah tugas khusus tersebut, termasuk mencari tahu soal konflik Thailand Selatan. Tanpa sepengetahuan Panglima TNI dan Kopkamtib, ia menemui PM Jenderal Kriangsak Chomanan. Setelah memberikan penjelasan, PM Chomanan lalu menulis surat pribadi yang ditujukan kepada Soeharto.
Belakangan, surat itu membuat berang pimpinan Badan Intelijen Strategis, Benny Moerdani dan Ali Moertopo. Pasalnya, laporan mereka soal konflik Thailand Selatan berbeda dengan isi surat PM Chomanan. Alhasil, Benny berpesan kepada ajudan Soeharto, Try Sutrisno, agar melarang Hasan jika hendak bertemu Presiden.
Tak lama, Soeharto mencium kejanggalan tersebut. Setelah dua pekan tak disambangi, ia menanyakan kepada Try mengenai keberadaan Hasan. Try pun berterus terang soal larangan Benny.
Soeharto lalu memanggil Benny ke Istana. "Bob Hasan itu untuk dijaga, bukan untuk dibatasi," pesannya ketika itu.
Flora Libra Yanti