
Bandung, gatra.net - Kepeloporan menjadi isu mendesak ketika ekspansi berbagai produk digital, ide, pemikiran, dan barang dari luar tak terbendung dan diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia. Jika ditarik dalam dikotomi ekstrem, saat ini hanya ada dua kelompok bangsa, yakni pelopor dan pengguna.
Pertama adalah bangsa pelopor, inovator, dan produsen yang posisinya menciptakan lalu menggelontorkan ide dan barang siap pakai. Yang kedua adalah bangsa pengguna yang sekadar memakai produk dan tanpa kritis terus mengadopsi pemikiran kaum pelopor.
Konfigurasi relasi antarbangsa yang timpang itu harus dibongkar. Dalam konteks Indonesia, di sinil ah peran ilmu Sosioteknologi begitu relevan. Topik ini berhasil menyita perhatian para tamu undangan yang hadir dalam acara Orasi Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh Profesor Dicky Rezady Munaf di depan Forum Guru Besar ITB di Aula Barat ITB pada Sabtu (14/3) lalu.
Selama kurang lebih 55 menit diselingi sejumlah improvisasi dan joke segar, Dicky yang membawakan materi orasi bertema ‘’Peran Sosioteknologi untuk Menjadikan Kearifan Lokal sebagai Salah Satu Pelopor Revolusi Industri 5.0’’ mampu membuat tamu undangan setia menyimak seluruh uraian hingga selesai.
Sejak ratusan tahun lalu, pada intinya basis kelahiran dan berkembangnya produk-produk kelompok pelopor mengacu pada pertumbuhan rumpun Ilmu Alam, Ilmu Formal, dan Ilmu Terapan (AFT). Kelompok bangsa pelopor ini demi nilai tambah barang produksinya, telah terlebih dahulu mempelajari dan menggambil hasil eksplorasi rumpun Ilmu Humaniora dan Ilmu Sosial (HS) serta rumpun Ilmu Agama (Ag).
‘’Dominasi bangsa pelopor berbasis rumpun AFT ini tidak steril dari interaksi dengan rumpun ilmu HS dan Ag yang melekat pada bangsa-bangsa pengguna,’’ ungkap Dicky. Intinya, perkembangan kreatif produk yang dihasilkan oleh kelompok pelopor tidak pernah lepas dari hasil serangkain kajian terhadap tren kebutuhan kelompok pengguna.
Sayang, saat VOC mulai menjajah pada 1596, kepeloporan bangsa Indonesia yang telah ada sejak dulu, mendadak pupus berganti menjadi bangsa pengguna. Sejak itu, bangsa-bangsa lain silih berganti mendominasi Indonesia karena berhasil menerapkan produk rumpun ilmu AFT dan mempelajari karakteristik rumpun HS dan Ag bangsa Indonesia.
Menurut guru besar yang memiliki 7 paten, 2 hak cipta, dan 1 Standar Nasional Indonesia (SNI) itu, di era globalisasi bahwa arus produksi barang dari luar sulit terbendung, kepeloporan bangsa Indonesia menjadi urusan urgen. Apalagi loncatan perubahan jenis revolusi industri berlangsung melalui percepatan 30 tahun dan era revolusi industri ke-5 atau 5.0 akan terjadi di dekade 2020-2030.
Memasuki dekade ini, budaya di masyarakat Indonesia yang hanya mengonsumsi produk rumpun ilmu AFT dari luar harus diwaspadai dan disikapi. ‘’Caranya dengan keinginan menjadi bangsa pelopor, penemu dan inovator, agar di era mendatang tidak sekadar menjadi ajang pengguna dari produk rumpun ilmu AFT bangsa lain,’’ kata penerima Habibie Award tahun 1999 itu.
Menurut penemu agregat ringan dari abu terbang itu, kewaspadaan dan keinginan menjadi pelopor dapat direalisasikan melalui ilmu Sosioteknologi sebagai alat strategi. Di sini, tentu saja sosioteknologi tidak mendalami aspek teknologinya, tetapi bagaimana memilih jenis teknologi yang tepat.
Sosioteknologi melihat bahwa pemberian nilai tambah pada kearifan lokal dapat bermakna menjadi komoditas melalui pertukaran ide di era Revolusi Industri 5.0. Mantan Deputi Menristek itu menilai Sosioteknologi berperan untuk memilih kearifan lokal yang tepat untuk memaksimalkan nilai tambah dengan teknologi yang secara futuristik tepat tanpa melupakan jati diri bangsa.
Peluang dan kesempatan Indonesia menjadi bangsa pelopor pada era Revolusi Industri 5.0 sangat terbuka lebar. Dan menurut anggota Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia dan American Society of Civil Engineers itu, Sosioteknologi menyiapkan pikiran untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa pelopor. Indonesia memiliki sediaan ide dengan deposit agregrasi 418 jenis kearifan lokal atau terhitung yang paling besar di dunia.
Reporter: G.A. Guritno