Home Laporan Khusus Pendidikan Berkualitas Untuk Yang Punya Duit

Pendidikan Berkualitas Untuk Yang Punya Duit

Fasilitas fisik, kemampuan mengembangkan kurikulum dan kualitas guru menjadi variabel yang membedakan sekolah-sekolah mahal dengan sekolah “kebanyakan”. Tugas pemerintah menyediakan pendidikan dengan kualitas merata dan harga terjangkau.


Sejuk. Itulah kesan pertama saat kita mengunjungi Sekolah Cikal di Jalan T.B. Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan. Dari luar, bangunannya tampak biasa saja, namun begitu memasuki kawasan sekolah rasanya seperti di sekolah alam karena dikelilingi pepohonan yang rimbun.

Di sisi jalan dari pintu masuk, terhampar lapangan sepak bola. Di dekatnya ada rumah pohon. Tak jauh dari lapangan, ada perpustakaan bertingkat dan kantin gratis untuk para penghuni sekolah.

Semuanya tampak bersih dan terawat. Kondisi serupa juga ditemukan di fasilitas lainnya, di antaranya ruang kelas, ruang ibadah, museum kecil, kolam renang, lapangan basket, hingga taman bermain anak-anak. Di koridor kelas terpampang beragam hasil kreativitas siswa.

Setiap membuka pendaftaran, Cikal tak pernah sepi peminat, bahkan ada daftar tunggu. Padahal, biaya masuknya tidak murah. Tahun ini, uang pangkalnya SD Cikal Cilandak Rp41 juta dan iuran bulanannya Rp4 juta.

Apa yang menjadi nilai plus Sekolah Cikal? Academic Director Sekolah Cikal, Tari Sandjojo, menerangkan bahwa sekolahnya mengembangkan dan mendesain sendiri kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan individu anak, yang disebut Kompetensi 5 Bintang (5C). Keunggulan lain adalah kualitas guru.

“Pendidikan yang baik itu kan enggak murah dan enggak cuma what is on paper, tapi bagaimana proses belajar-mengajar dalam kelas,” kata Tari kepada Erlina Fury Santika dari GATRA.

Sekolah swasta mahal tak cuma Cikal. SD High Scope mematok uang pangkal sebesar Rp70 juta dan iuran bulanan Rp 6,6 juta. Yang lebih mahal? Banyak. Umumnya, yang biayanya tinggi adalah sekolah internasional dan swasta nasional plus.

***

Pada 2013, terbit Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 31 Tahun 2014. Regulasi tersebut menempatkan sekolah internasional dan sekolah swasta nasional plus sebagai sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).

Selain itu, Permen tersebut juga membebaskan SPK mengadopsi kurikulum asing tetapi mewajibkan ada tiga mata pelajaran di kurikulum nasional atau K-13 bagi siswa WNI. Studi tambahan itu adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), agama, dan bahasa Indonesia. Sedangkan murid WNA wajib mempelajari budaya Indonesia.

“Ini sudah dijalankan, karena sifatnya wajib,” kata Ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia, Haifa Segeir, kepada M. Guruh Nuary dari Gatra.

Pada dasarnya, sekolah SPK memakai kurikulum asing. Sumbernya dapat berbeda-beda. Ada yang menerapkan kurikulum Cambridge ataupun mengambil sistem negara lain. Prinsip lainnya, sekolah SPK menggunakan pendekatan student centered yang berarti disesuaikan dengan kebutuhan anak.

Soal biaya yang kelewat tinggi, menurut Haifa, itu relatif. Iuran sekolah tiap SPK juga berbeda. Makin lengkap fasilitas yang disediakan sekolah, otomatatis biayanya semakin tinggi. Lalu keberadaan pengajar asing juga menentukan berapa pungutannya.

"Banyak variabel yang menentukan biaya sekolahnya. Ada yang memang biasa saja, ada juga yang fantastis harganya,” Haifa menambahkan.

Menurut Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasat Menengah (PAUD Dikdasmen), Harris Iskandar, lewat Permendikbud 31/2014 pihaknya berwenang mengatur sistem pendidikan yang seperti peserta didik, kurikulum, proses pembelajaran, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, penilaian, pengelolaan, dan pembiayaan sekolah SPK.

“Pengawasan Kemendikbud juga termasuk biaya pendidikan,” katanya saat dihubungi wartawan GATRA, Ucha Julistian.

Terkait pungutan yang dinilai mahal, Harris menjelaskan ongkos tersebut biasanya relevan dengan biaya investasi hingga operasional sekolah. “Saya rasa semua [biaya] menjadi masuk akal jika dilihat dalam hitung-hitungannya. Tapi jika diukur dengan kantong saya pribadi, tentu itu mahal,” katanya.

Permendikbud 31/2014 juga mensyaratkan sekolah SPK terakreditasi Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M). Dari 689 sekolah SPK yang ada di Indonesia, 250 di antaranya sudah mengikuti program akreditasi hingga 2019. “Sisanya akan kita selesaikan tahun ini,” kata Ketua BAN-S/M, Toni Toharudin.

Ada SPK yang belum terakreditasi, menurut Toni, lebih disebabkan proses asesment yang dilakukan BAN-S/M sekolah yang direkomendasikan Kemendikbud. Jumlahnya tergantung kuota APBN.

Hasil penilaian BAN-S/M terhadap 250 SPK menunjukkan 101 sekolah terakreditasi A, 109 terakreditasi B, 31 terakreditasi C dan 8 Tidak Terakreditasi (TT). Yang TT ini gagal karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang mutlak dipenuhi.

Toni menjelaskan proses pembelajaran di SPK umumnya bagus. Hanya saja beberapa persyaratan tak terpenuhi sehingga tidak mendapai nilai A meski fasilitas lengkap. Yang masih kurang, salah satunya kualifikasi guru. “Gurunya S1 mengajar matematika padahal background ekonomi misalnya, itu banyak,” ujarnya.

Toni juga mengakui ada sejumlah SPK yang tidak terlalu peduli soal ketentuan mengikuti ujian nasional bagi siswa WNI, padahal aturan tersebut wajib.

Yang kini banyak bermunculan juga sekolah reguler berlabel Islam Terpadu. BAN-S/M mengakreditasi tipikal ini seperti sekolah nasional lain. Pihaknya tak punya instrumen untuk mengakreditasi muatan-muatan pendidikan agama yang ditawarkan sekolah Islam Terpadu.

Ia mengimbau para orangtua mulai mempertimbangkan akreditasi sekolah. Tak cuma melihat label. Sebab, biaya tinggi tak selalu menjamin kinerja sekolah. Setidaknya, akreditasi menjadi tolak ukur standar layanan dasar apa saja yang harus ada.

“Banyak juga yang terkecoh oleh label ini, padahal sama saja,” ia mengungkapkan.

Pemerhati pendidikan Itje Chodidjah menilai pemerintah tak perlu mengatur besaran biaya pendidikan di sekolah swasta. Pemilik sekolah punya kewenangan menetapkan fee kepada para peserta didik. Tak semua sekolah juga mematok banderol mahal. Namun memang kalau biayanya relatif murah biasanya memiliki kualitas lebih rendah ketimbang sekolah negeri.

Kata Itje, penentu besaran tarifnya adalah kelengkapan fasilitas dan layanan yang ditawarkan kepada peserta didik. Ia juga melihat ada motivasi status sosial keluarga dari pihak orangtua ketika memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang mahal. Itje justru melihat ini hal positif. “Jadi, peluang masuk ke sekolah negeri lebih diberikan kepada keluarga yang perlu mendapat dukungan,” ujarnya.

Menurut Itje, ketika sekolah negeri punya kualitas mumpuni, lambat-laun masyarakat akan mulai meninggalkan sekolah-sekolah swasta berbiaya tinggi. “Apalagi kalau pemerintah sudah bisa menyediakan pendidikan berkualitas dan merata,” ucapnya.


Putri Kartika Utami