Sekolah dengan label Islam Terpadu kian menjamur. Kontennya makin tidak bisa dikontrol oleh Kemendikbud. Dinilai membuka peluang besar masuknya paham radikalisme.
Gemuruh canda dan tawa puluhan siswa terdengar keras di area lapangan futsal Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insan Mandiri, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa lalu. Mereka berlarian dan memenuhi sisi lapangan. Para murid di sekolah yang berdiri sejak 2003 ini, memang dibebaskan bermain di lapangan yang juga menjadi halaman sekolah. Sebab, para siswa tidak diperbolehkan keluar lingkungan.
Meski berlabel “Islam Terpadu”, sekolah tetap menerapkan sepenuhnya kurikulum yang ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Proses akreditasinya pun mengkuti sekolah umum. Bahkan tim akreditasi tidak menilai program pendidikan Islam yang ada di SDIT Insan Mandiri.
“Biasanya, kalau di Kementerian, kita disebutnya bukan SDIT, tapi tetap dianggap SDS, seperti sekolah swasta pada umumnya,” ucap Wakil Kepala Sekolah Bidang Pembinaan Murid SDIT Insan Mandiri, Yayan Heryana, saat ditemui Wartawan GATRA, Dwi Reka Barokah, di ruang kerjanya.
Pada dasarnya, materi ajar di sekolah ini sama dengan sekolah umum. Bedanya, SDIT Insan Mandiri menambahkan pelajaran bahasa Arab dan memfasilitasi siswa menjalankan salat sunah dan tahfiz atau menghafal Al-Quran. “Pagi-pagi sebelum mulai KBM (kegiatan belajar mengajar), siswa wajib salat sunah duha dan baca Al-Quran dulu," kata Yayan.
Pihak sekolah menargetkan setiap siswa hafal juz 29 dan 30 ketika mereka lulus. Jika ada siswa dengan nilai rendah atau belum mencapai target, siswa tersebut harus mengikuti program karantina Al-Quran. Program tersebut biasanya dilaksanakan pada hari libur atau di luar jam kegiatan belajar mengajar (KBM).
Program hafalan Al-Quran itu, menurut Yayan, menjadi program unggulan SDIT. Bahkan memasuki bulan Ramadan, KBM sepenuhnya digunakan untuk menghafal surat-surat dan kegiatan keagamaan seperti kajian. Tak ada pelajaran matematika, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan sebagainya.
Program unggulan itu membuat Nurjannah, salah satu orang tua siswa SDIT Insan Mandiri, terpincut. “Zaman sekarang, anak kalau enggak dibekali ilmu agama sama mengenal kitabnya, mau jadi apa? Tuntutan zaman juga, kan,” ujarnya kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.
Oleh karena itu, meski untuk masuk SDIT Insan Mandiri harus merogoh kocek lebih dalam, bagi Nurjannah harga yang ia bayarkan sepadan dengan kualitasnya.
***
Beberapa tahun terakhir, sekolah berlabel Islam Terpadu (IT) kian menjamur. Sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbud ini, ada dari tingkat pendidikan PAUD hingga SMA. Namun, masalah muncul ketika kurikulum yang berkenaan dengan pengajaran Islam di sekolah-sekolah itu tidak memiliki pakem seperti madrasah atau pesantren yang berada di bawah naungan Kemenag.
Kemendikbud tidak mengatur kurikulum pengajaran Islam untuk sekolah-sekolah IT di bawah naungannya secara terperinci. Selain itu, sekolah dengan label pendidikan IT menjalankan pendidikan Islam dengan aturan lokal. Bisa dikatakan, apa yang mereka lakukan dengan pengajaran IT itu “tidak terkontrol”. Bahkan standar akreditasi juga masih diragukan kelayakannya.
Pengamat Pendidikan sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan bahwa sekolah IT hadir atas dasar kemauan masyarakat yang ingin membangun sekolah dengan mengelaborasikan pengetahuan umum dengan agama di bawah Kemendikbud.
Kurikulum pelajaran agama di sekolah IT ini pun menjadi kebijakan setiap sekolah/yayasan dan tidak diatur oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud. “Kurikulum nasional tidak mengatur jauh sampai Islam Terpadunya. Muatan-muatan Islamnya itu dari sekolah sendiri, tetapi mata pelajaran yang wajib sudah dari Kemendikbud,” ujar Ubaid saat dihubungi Drean Muhyil Ihsan dari GATRA, Selasa kemarin.
Adapun materi rujukan pendidikan Islamnya sangat beragam, tergantung pada kecenderungan pengelola sekolah masing-masing. Kurikulum pengajaran Agama Islam pun belum diatur oleh Kemendikbud.
Hal ini tentu turut membuka peluang bagi oknum yang ingin mengajarkan paham ekstrem dan intoleran atas nama agama melalui bangku sekolah. Menurut Ubaid, Kemendikbud sudah seharusnya mengatur konten ajaran Islam dalam sekolah-sekolah IT. “Ya, bahaya sekali kalau tidak diatur. Kita tidak tahu kecenderungan Islam seperti apa yang diajarkan oleh sekolah-sekolah berbasis Islam Terpadu itu,” ucapnya.
Ubaid berpendapat, Kemendikbud harus segera mengevaluasi sekolah-sekolah IT. Jika kelak ditemukan banyak penyimpangan dan terlalu banyak kesamaan dengan sekolah umum, lebih baik ditiadakan saja. Adapun kebutuhan pengembangan konten agama, sebaiknya diarahkan ke madrasah yang kompetensi gurunya jelas.
Ubaid mengungkapkan, berdasarkan data dari berbagai lembaga riset independen, guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum saja banyak terpapar paham radikalisme. Ia menekankan agar pemerintah menjadikan data-data tersebut sebagai referensi dalam membuat kebijakan awal mengatur sektor pendidikan dan pengajar di Indonesia.
***
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Harris Iskandar, menampik persoalan itu ditangani Kemendikbud. Menurutnya, perizinan sekolah IT berada di bawah lingkup pemerintah daerah.
Meski demikian, Harris mengakui bahwa kurikulum di sekolah IT juga masuk dalam ranah kewenangan Kemendikbud. Namun, Harris tidak memerinci secara detail terkait adanya perbedaan kurikulum dalam ranah Pendidikan Agama.
“Kurikulum termasuk yang diawasi oleh Kemendikbud. Namun, penggunaan kurikulum negara asing atau lembaga asing diperkenankan, sepanjang kurikulum tersebut diperkaya dengan mata ajar pendidikan agama, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, serta bahasa Indonesia," Kata Harris kepada Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.
Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, menyebut banyak orang tua murid sekarang ini merasa sekolah IT bisa memenuhi apa yang mereka cari. Meski dengan biaya lebih mahal, orang tua merasa puas anaknya bisa mendapat pendidikan tambahan, selain pendidikan umum. “Lalu, mereka melihat peluang itu ada di sekolah Islam terpadu,” katanya.
Gandhi Achmad