Home Hukum Puluhan Perempuan di Padang Bersuara dalam Diam

Puluhan Perempuan di Padang Bersuara dalam Diam

Padang, gatra.net - Puluhan jaringan peduli perempuan di Kota Padang, dan Forum Perempuan Aliansi BEM se-Sumatra Barat (Sumbar), melakukan aksi diam sebagai bentuk protes sekaligus untuk menyuarakan kepedulian perempuan di ranah publik.  

Juru Bicara Aksi, Indira Suryani menyebutkan, pihaknya pada Minggu (8/3), telah melakukan aksi diam itu pada momentum peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) 2020 saat Car Free Day di kawasan Khatib Sulaiman Kota Padang. 

Dikatakannya, puluhan perempuan duduk di trotoar dengan membentangkan beragam spanduk penolakan peraturan deskriminatif pada perempuan. Peserta CFD juga banyak yang ikut menandatangani spanduk penolakan RUU yang dinilai diskriminatif itu. 

“Kita ingin menunjukkan, diam itu bukan berarti tidak melakukan sesuatu, tapi bentuk penolakan yang kuat,” kata Indira kepada gatra.net, Senin (9/3) di Padang. 

Menurutnya, aksi tersebut dilakukan padaù8 momentum Hari Perempuan Internasional setiap tahunnya. Tujuannya untuk menyuarakan kepentingan perempuan di ruang publik. Apalagi, saat ini pemerintah sedang menggodok RUU Omnibus Law Ketahanan Keluarga yang dinilai diskriminatif. 

Plt. Direktur Nurani Perempuan WCC, Rahmi Merry Yenti membenarkan, RUU Omnibus Law yang menjustifikasi peran perempuan hanya di dalam rumah. Dalam artian, pembagian rumah semata-mata diberikan kepada perempuan. Padahal, laki-laki dan perempuan haknya sama. 

Sebaliknya, kasus kekerasan seksual termasuk paling tinggi di Sumatra Barat (Sumbar). Pada tahun 2019, terdapat 105 kasus diterima, dan 55 di antaranya terkait kekerasan yang dialami perempuan. Dari jumlah itu, 20 persen di antaranya belum tuntas proses hukumnya. 

“Banyak proses hukumnya belum tuntas. Sebanyak 20 persen belum tuntas proses hukumnya. Ada pelaku yang melarikan diri, kekurangan alat bukti atau saksi, dan lainnya,” terang Rahmi. 

Dari keterangannya, umumnya pelaku kekerasan seksual ialah orang terdekat korban. Misalnya ayah, teman, pacar, atau orang-orang yang dikenal oleh korban. Akibat peristiwa yang dialami, banyak korban yang butuh pemulihan yang lebih komprehensif. 

Menurut Rahmi, apabila pemulihan korban tidak segera dilakukan, tindakan kekerasan akan kembali terjadi. Termasuk tidak menutup kemungkinan, korban akan menjadi pelaku kekerasan seksual itu sendiri di kemudian hari. Hal ini tentu akan menimbulkan kasus baru. 

Ia mengungkapkan, selama ini korban kekerasan seksual tidak pernah mendapatkan pemulihan (trauma) dari negara. Ia berpendapat, RUU PKS yang didesak sejak 2016 ini, harapan yang secara komprehensif membahas pemulihan korban kekerasan seksual. Namun pemerintah dinilai abai.  

“Tidak hanya proses penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual. Nah, perempuan ini datang dari berbagai daerah, mereka menyuarakan beberapa kebijakan,” katanya. 

Sementara, Koordinator Aksi dari mahasiswa, Safa Salsabila menambahkan, pihaknya ikut dalam momentum Hari Perempuan Internasional 2020 ini, sebagai bentuk protes agar pemerintah mendengarkan rintihan perempuan. Pasalnya, kasus kekerasan pada perempuan marak terjadi. 

Safa berharap, pemerintah tidak diam dengan banyaknya kasus kekerasan selama ini. Apalagi mensahkan RUU yang diskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan harus diberdaya untuk menunjang ekonomi, dan tidak ada lagi kekerasan yang terjadi. 

“Hari ini kami datang sekitar 50 orang lebih, baik dari UNP, Unand, STKIP Adzkia dan lainnya. Kami berharap, pemerintah bisa bertindak tegas pada pelaku kekerasan terhadap perempuan,” tukasnya mahasiswa Fisika 2016 UNP itu.

1018