Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati
Cukai, Instrumen Tepat untuk Pengendalian
Konsumsi beberapa produk yang berpotensi merusak kesehatan dan lingkungan, akan dikendalikan melalui cukai. Untuk mengerem laju klaim kesehatan dan mendorong pengembangan mobil listrik.
Dewan Perwakilan Rakyat setuju meloloskan rencana Kementerian Keuangan untuk mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis, plastik, hingga kendaraan bermotor berdasarkan emisi karbondioksida (CO2). Perhitungannya. dari tambahan objek cukai tersebut, tambahan penerimaan negara berpotensi mencapai Rp23,55 triliun.
Meski mendatangkan penerimaan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pengenaan cukai dilakukan guna membatasi konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tersebut. Pada produk minuman berpemanis, alasan kesehatan menjadi tujuan utama pengenaan cukai. “Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling tinggi terjadi dan terus tumbuh,” kata Sri Mulyani dalam paparannya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Jakarta, beberapa waktu silam.
Terkait dengan kebijakan ini, jurnalis Gatra Qonita Azzahra berbincang dengan Sri Mulyani. Berikut petikannya:
Kapan aturannya soal cukai tiga objek ini akan diterapkan?
Sesuai dengan persetujuan DPR, kita akan melakukan lagi redesigning policy ini. Masukan-masukan yang disampaikan akan kami perhatikan sehingga, pertama, kita enggak mau dalam kondisi ekonomi yang sekarang ini melemah, kebijakan ini akan menimbulkan beban. Karena itu harus dilihat waktunya, sisi berapa tarifnya, dan produk apa saja yang terkena. Nanti kita akan kaji secara hati-hati dan akan dibahas lagi. Sementara ini, kita akan lebih fokus, bagaimana agar ekonomi kita tetap terjaga dalam situasi sekarang yang sangat tertekan.
Kenapa pilih tiga objek ini?
Cukai merupakan instrumen untuk mengendalikan konsumsi, karena barang-barang tersebut dianggap memiliki dampak negatif apakah atas kesehatan atau lingkungan. Instrumen cukai merupakan instrumen tepat untuk pengendalian itu. Ini sudah dilakukan semua negara di dunia.
Kalau dibandingkan dengan ASEAN, Indonesia negara paling sedikit instrumen cukai sebagai fungsi pengendalian. Thailand ada 21 objek cukai, mulai emisi, fuel, bahan bakar, tembakau, sampai minuman keras. Filipina lima objek.
Khusus mengenai suksesnya introduce minuman pemanis, karena itu cukup dianggap strategis dari sisi kesehatan dan itu salah satu yang sukses ceritanya. Filipina juga baru saja introduce ini. Cukai plastik dalam proses dan akan lebih cepat. Kamboja 11 komoditas, Vietnam tujuh, Brunei lima, Laos sembilan, Malaysia tujuh, Singapura lima objek.
Untuk kantong plastik, beberapa negara sudah adopsi. Untuk Asia, Hong Kong, India, Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam. Negara non-Asia, dari Eropa Daratan, AS, sampai Latin Amerika, dan Afrika Selatan.
Alasan khusus pemilihan objek cukai plastik?
Sampah plastik jadi fenomena yang dirasakan di seluruh dunia. Indonesia termasuk negara dengan sampah plastik terbesar dunia. Mungkin hanya kalah dari Cina dan India.
Kondisi saat ini, berbagai instrumen dipakai untuk kendalikan konsumsi plastik. Kalau sekarang, ada pungutan dilakukan non-APBN. Seperti di beberapa toko, kalau mau belanja pakai plastik langsung charge. Itu biasanya berdasarkan perda atau policy di toko yang ingin menunjukkan bahwa mereka concern.
Jadi kebijakan dilakukan individu atau pengusaha sendiri akibat tidak ada keseragaman. Selain itu, tidak jelas pertanggungjawaban penerimaan.
Usulan kita, pengenaan cukai. Berarti dengan adanya cukai, ada keseragaman pelaksanaan di wilayah pabean. Menjadi jelas tarif berapa, penerimaan berapa, kita pertanggungjawabkan dalam APBN, dan ada mekanisme kontrol dan penegakan hukum. Karena kemampuan Direktorat Jenderal Bea & Cukai untuk enforce cukai ini punya track record, misalnya cukai rokok berhadapan dengan illegal rokok, maupun MMEA (minuman mengandung etil alkohol).
Tarif cukai plastik berapa besar?
Usulan kami cukai Rp30 ribu per kg, maka tarif cukai equal Rp200 per lembar. Hampir sama dikenakan di berbagai toko atau shopping center. Dengan demikian, harga kantong plastik setelah kena cukai Rp450 hingga Rp500. Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia), sebagai perusahaan asosiasi retailer akan dikenakan Rp200- Rp500. Kita hitung dampak finalis 0,045%.
Potensi penerimaannya?
Dengan konsumsi kantong plastik 55.532.609 kilogram per tahun, maka potensi penerimaannya Rp1,605 triliun. Kita berasumsi konsumsi ini akan mencapai 107.065.217 kilogram per tahun, di mana kalau kita lihat data dari KLHK, pada 2016 dilakukan berdasarkan konsumsi di 90.000 gerai retail. Pengenaan cukai ini diasumsikan konsumsi akan menurun 50%, sehingga total konsumsinya menjadi hanya 53,5 juta.
Jadi, baseline 107 juta kilo, tapi dengan cukai, konsumsinya turun 50%. Negara-negara paling tinggi, Irlandia Rp322.000 per kilogram, hingga Afrika Selatan Rp41.471 per kilogram. Sementara itu, Indonesia Rp30.000 per kilogram itu range rendah.
Kalau minuman berpemanis, apa yang mendasari perlunya dikenai cukai?
Di berbagai negara, sudah diketahui pengendalian konsumsi gula, salah satu gaya hidup yang lebih sehat. Di Indonesia prevalensi diabetes melitus di atas usia 15 tahun meningkat cukup tajam. Dari 1,5% di 2013 menjadi 2% penduduk. Jadi kalau penduduk kita 267 juta, kita bisa bayangkan growth berapa. Kemarin kita bicara dengan BPJS, ini merupakan salah satu yang menyebabkan biaya yang cukup besar di BPJS kesehatan.
Bagaimana pula mekanisme pengenaan cukai?
Subjek kena cukai adalah pabrikan dan importir. Multitarif berdasarkan kandungan gula dan pemanis buatan. Kadar lebih tinggi maka cukai lebih tinggi, berdasarkan logika cukai kendalikan.
Pembayaran cukai saat dikeluarkan dari pabrik atau pelabuhan. Pembayaran berkala tiap bulan. pengawasan melalui registrasi pabrikan, pelaporan produksi, spot check dan audit.
Berapa potensi penerimaan atas cukai minuman berpemanis ini?
Potensi penerimaan untuk teh kemasan, penjualan per tahun 2.191 juta atau Rp2,19 miliar. Tarif Rp1.500 per liter. Ini berdasarkan estimasi penjualan pada 2015 sebagai baseline. Maka tarif dan volume seperti itu dan elastisitas 0,8. Berarti kalau kenakan cukai ada penurunan konsumsi, maka potensi penerimaan Rp2,7 triliun.
Untuk minuman karbonasi dan mengandung gula, produksinya 747 juta liter, tarif Rp2.500 per liter, dan estimasi produksi setelah cukai ada 687 juta karena elastisitas 0,8. Maka potensi penerimaan Rp1,75 triliun.
Lainnya seperti energy drink, kopi saset, produksinya 808 juta liter. Tarif Rp2.500 per liter dan elastisitas 0,8. Maka estimasi produksi setelah cukai 743 juta dan potensi penerimaan Rp1,85 triliun. Apabila ini dikenakan akan mendapat penerimaan Rp6,25 triliun.
Kalau soal objek cukai kendaraan penghasil emisi, apa latar belakangnya?
Kalau emisi kendaraan bermotor dikenakan cukai, maka objeknya kendaraan bermotor menghasilkan emisi CO2. Ini sesuai program pemerintah, yang ingin dorong produksi kendaraan berbasis listrik yang emisinya jauh lebih kecil. Sehingga non-listrik yang emisi lebih besar akan jadi objek.
Pengecualian emisi ini adalah untuk kendaraan yang tidak menggunakan BBM. Jadi mobil listrik tidak kenakan. Kendaran umum pemerintah, keperluan khusus seperti ambulans, damkar, dan bus angkutan juga tidak dikenakan. Begitu pula kendaraan untuk diekspor. Meski bertahap, harus ada program insentif agar mereka lebih green.
Siapa yang akan jadi subjeknya?
Subjek cukai, pabrikan yang akan membayar, jadi bukan pada pengguna. Tiap produsen harus bayarkan dan tarif cukainya avalorum dan atau spesifik multitarif berdasarkan emisi CO2 yang dihasilkan dan aspek keseimbangan dan keadilan. Dilakukan berkala pembayarannya dan dibayar saat barang keluar dari pabrik.
Tarifnya?
Tarifnya disesuaikan dengan prioritas pengendaliannya. Untuk tahap awal, kami usulkan Rp30.000 per kilogram. Pembayaran cukai dilakukan saat barang tersebut keluar dari pabrik atau pelabuhan. Untuk barang impor yang ada di dalam kawasan pelabuhan dan akan masuk ke dalam kepabeanan kita. Cara pembayarannya berkala, dibayar setiap bulan sesuai jumlah produksi dan impor. Pengawasan oleh Bea dan Cukai melalui registrasi pabrikan, pelaporan produksi, dan pengawasan fisik dan audit.
Potensi penerimaanya?
Untuk potensi penerimaannya belum ada, karena ini masih didiskusikan lebih lanjut antara Kemenkeu sendiri dan DPR. Kami masih harus hitung dampak inflasinya dan konsumsi rumah tangga, apabila ini dilaksanakan.
[G]