
Industri pariwisata dan farmasi di Indonesia paling terpukul akibat wabah corona. Agar tak berdampak pada ekonomi, pemerintah perlu melakukan subtitusi dengan mendatangkan wisatawan domestik dan mencari alternatif impor bahan baku obat.
Pasar bahan makanan ekstrem Tomohon, di kota Manado, Sulawesi Utara, tidak terpengaruh oleh hebohnya penularan penyakit mematikan dan belum ada obatnya, 2019-nCoV. Penyakit sejenis pnumonea akibat virus corona ini diduga berasal dari hewan kelelawar, yang juga menjadi komoditas di pasar Tomohon.
Bisa jadi karena secara tradisonal kelelawar sudah menjadi makanan biasa di sana, dan tak pernah membikin sakit, fenomena dari Wuhan itu tidak memengaruhi perdagangan di Pasar Tomohon. Penjual daging kelelawar setempat tidak mengalami penurunan omzet penjualan yang berarti.
Ini tentu berkebalikan dengan yang terjadi di Cina Daratan, di mana virus corona berasal. Di Cina, ekonomi di negeri itu melemah secara signifikan akibat wabah ini. Virus corona membuat sejumlah kegiatan produksi terpaksa dihentikan sementara. Akibatnya, terjadi perlambatan ekonomi di Tiongkok.
Dan soal dampak ekonomi ke Indonesia secara keseluruhan, menurut Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu, dengana adanya ketidakpastian ekonomi global ditambah pula wabah corona, ekonomi Indonesia sebenarnya diperkirakan masih bisa tumbuh 5%.
Yang wajib diwaspadai justru pertumbuhan ekonomi Tiongkok. “Setiap 1% penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok itu menyebabkan penurunan perekonomian kita sebesar 0,3% menurut marco model yang pernah dilakukan,” katanya.
Cina memang mitra dagang penting dan strategis Indonesia. “Negeri Panda” itu merupakan tujuan utama ekspor produk-produk nasional dengan pangsa pasar 16,6% dari total ekspor Indonesia. Pada 2019, nilai ekspor ke Tiongkok mencapai US$27,91 milyar. Cina juga importir terbesar. Tahun lalu, nilainya US$44,9% milyar.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sektor farmasi diyakini paling terpukul. Ini juga akibat proses produksi yang terhenti di Cina. Untuk mencegah penyebaran virus, Pemerintah Tiongkok memperpanjang libur Imlek dari dua minggu menjadi sebulan. “Value chain akan terganggu, karena mereka menyetop produksi sementara,” katanya.
Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) menyebut, hampir 50% bahan baku produk farmasi berasal dari Cina. Banyaknya produsen bahan baku di Cina yang berhenti beroperasi sementara menimbulkan keterlambatan pengiriman pasokan ke Indonesia. Saat ini, stok masih aman, tetapi jika tidak diantisipasi pasokan pada Juni-Juli akan terganggu.
“Dampak lebih besar akan terasa kira-kira pada Maret-April, di mana stok obat mulai menipis,” kata Ketua Umum GP Farmasi, Tirto Kusnadi, saat dihubungi Ryan Sara Pratiwi dari Gatra.
Memang ada alternatif mengambil produk dari negara lain, misalnya India. Sayangnya, mayoritas pabrik India menyediakan bahan baku setengah jadi (intermediate material) yang diimpor dari Cina. Harganya pun lebih mahal, karena skala produksi India tak semasif Tiongkok. “Perbedaan harganya juga tergantung barangnya. Ada yang bisa sampai 10%, 15%, dan ada yang cuma 5%,” Tirto mengungkapkan.
Saat ini, obat yang beredar 60% merupakan obat murah yang formulasi harganya diatur pemerintah untuk program BPJS Kesehatan. Saat produksi terganggu akibat kelangkaan bahan baku, Tirto khawatir industri farmasi merugi bahkan gulung tikar. Apalagi, pembayaran BPJS Kesehatan melalui rumah sakit juga tidak pasti waktunya.
Ia juga memperkirakan harga obat akan naik cukup besar, sekitar 20%-30%, akibat terhambatnya pasokan bahan baku. Saat ini saja sudah ada bahan baku yang naik sampai 30%, yakni parasetamol yang merupakan obat paling dasar. “Dalam waktu satu-dua minggu ke depan barangkali akan naik lebih banyak lagi. Parasetamol itu harga beli internasionalnya ini sudah naik,” ujarnya.
Selain farmasi, Menko Airlangga menyebut sektor pariwisata juga sangat terdampak. Per 5 Februari lalu, pemerintah menutup sementara penerbangan dari Indonesia ke Cina dan sebaliknya. Pendatang dari Tiongkok dilarang untuk masuk dan transit di Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menghentikan sementara pemberian fasilitas bebas visa dan visa on arrival untuk warga Cina.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata pada 2019 turis Tiongkok berkontribusi 12,86% atau 2 juta orang dari total kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia dari total 16,1 juta kunjungan wisman. Cina menjadi negara kedua terbesar setelah Malaysia dengan 2,9 juta wisman atau 18%
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan jumlah tersebut bukan angka kecil. Keputusan pemerintah menyetop sementara penerbangan dari dan ke Cina akan berdampak pada sektor pariwisata nasional. “Kalau kita lihat ada larangan untuk berkunjung ke sini, pasti ada pengaruh,” katanya. Senin lalu.
Efek lesunya sektor wisata sudah terasa di Bali sejak awal Januari lalu. Pada 2019, jumlah wisman yang datang ke Bali mencapai 6,3 juta orang. Dari jumlah tersebut, 20% atau 1,2 juta merupakan warga Tiongkok. Februari ini seharusnya menjadi high season karena berbarengan dengan libur Imlek. Tetapi, akibat wabah 2019-nCoV ada 17.000 turis Tiongkok membatalkan kedatangan.
“Pembatalan ini tentu berdampak pada pariwisata kita seperti ke penginapan, travel agent, guide, suvenir, restoran kan multiflier effect,” kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Putu Astawa, kepada GATRA.
Rata-rata masa tinggal turis Cina sekitar lima hari dengan pengeluaran US$300-US$500 per orang. Kalau pakai hitungan pengeluaran minimal US$300 saja, artinya ada potensi kehilangan sekitar Rp69 milyar dengan kurs Rp13.680.
Untuk mengatasi lesunya pariwisata akibat kekosongan wisman Cina, Pemprov Bali membidik wisatawan domestik yang market-nya sangat besar. Namun, perlu ada kebijakan menurunkan harga tiket domestik yang dirasa mahal. Strategi kedua, menggarap pasar Eropa yang biasanya masa tinggalnya berkisar satu-dua minggu.
Gayung bersambut. Jakarta kini tengah mengkaji pemberian insentif bagi pebisnis sektor pariwisata, khususnya penerbangan untuk mendorong belanja masyarakat. Sekarang masih digodok jenis dan skemanya oleh Kementerian Keuangan. Yang jelas insentif tersebut bukan keringanan pajak dan subsidi harga avtur.
Fasilitas ini diberikan untuk rute-rute favorit turis Tiongkok seperti Bali, Bintan, dan Sulawesi Utara. “Konsepnya mau yang direct (langsung), sehingga mendorong masyarakat untuk beli tiket pesawat,” ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mewanti-wanti pemerintah soal dampak perlambatan ekonomi Cina terhadap kinerja ekspor. Cina merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Untuk ekspor nonmigas saja sumbangannya 17%. Jika ekonomi Cina lesu, maka daya beli juga turun sehingga permintaan ekspor ikut tergerus.
Padahal, Cina menjadi market utama sejumlah komoditas andalan seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). “Kalau berkurang dari 17%, artinya kita akan mengalami penurunan nilai ekspor. Cukup besar, belum yang lainnya,” katanya kepada wartawan Gatra Qanita Azzahra.
Namun, Heri melihat ada peluang yang bisa diambil Indonesia di tengah krisis ini, yaitu masuk ke pasar ekspornya Cina. Akibat wabah corona, Cina mengalami gangguan rantai pasok, perlambatan produksi, sehingga para mitra dagang mereka kekurangan pasokan. Ini menjadi celah bagi Indonesia merebut ceruk pasar Tiongkok.
“Di Wuhan itu kan ada komponen elektronik, komponen otomotif. Nah, kan kita punya industrinya. Tapi ini kita bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan negara lainnya. Jadi, harus gesit mengambil momentum ini,” ujarnya.
Putri Kartika Utami dan A.A. Gede Agung (Bali)