
Jumlah yang tertular coronavirus terus bertambah. Pemerintah Cina meminta penduduknya kembali bekerja dengan risiko penyebaran menjadi tidak terkendali.
Masyarakat Cina kembali bekerja setelah libur panjang Imlek. Kecuali, mereka yang tinggal di Provinsi Hubei; episentrum wabah coronavirus. Pemerintah mengimbau warganya untuk kembali ke tempat kerja agar ekonomi kembali bergerak. Tapi ada risiko yang ditanggung. Pergerakan para pekerja di seluruh negeri bisa memperburuk penyebaran coronavirus.
Pabrik-pabrik memang harus kembali memproduksi barang. Terutama barang-barang yang dibutuhkan untuk melawan wabah. “Kita harus memberikan dukungan yang lebih baik untuk melawan dan mengendalikan wabah, sekaligus mengamankan kondisi normal ekonomi dan masyarakat,” kata Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, dalam pidatonya di depan sidang kabinet, pekan lalu.
Dampak wabah ini mulai menggigit ekonomi. Harga-harga merambat naik di antero China. Didorong harga pangan dan makanan segar. Harga pangan naik hampir 21%. Daging babi naik lebih dari 100%. Consumer price index (CPI) yang menjadi tolok ukur tingkat inflasi retail tercatat 5.4% pada Januari 2020, naik dari 4.5% pada Desember 2019.
Ekonomi Hong Kong juga mulai terdampak akibat terganggunya bisnis, travel dan rantai pasokan ke pulau itu. Negara-negara Asia Tenggara yang banyak menerima wisatawan dari Cina Daratan juga mulai merasakan gangguan.
Oxford Economics menurunkan perkiraan pertumbuhan Cina jadi 5.4% pada 2020, dibandingkan 6% pada tahun lalu.
Warga yang kembali ke tempat kerjanya masih membawa kekhawatiran soal coronavirus Wuhan. Stasiun kereta hanya mengizinkan penumpang bermasker. Pemerintah Beijing membebaskan warganya menggunakan kendaraan pribadi untuk menghindari angkutan umum. Meskipun pemerintah ingin warganya kembali bekerja, jalanan masih sepi. Angkutan umum masih sepi.
Data China Railway Corporation menyebutkan, jumlah penumpang yang bepergian di akhir liburan Imlek hanya sekitar 25% dari kondisi normal. Sementara itu, Civil Aviation Administration of China mencatat jumlah penerbangan turun hingga 50% pada pekan lalu. Dari yang masih terbang pun, kursi yang terisi tinggal kurang dari separuhnya.
***
Wabah coronavirus masih jauh dari tertangani. Komisi Kesehatan Nasional Cina merilis rekor baru. Pada Minggu, 9 Februari lalu, jumlah penderita yang tewas pada hari itu mencapai 97 orang. Lebih banyak dari rekor sebelumya yang terjadi pada Sabtu, 8 Februari, yang mencatat jumlah tewas 89 orang.
Secara statistik, coronavirus sudah melampaui SARS ( November 2002–Juli 2003)) di banyak aspek. Komisi yang sama mencatat total ada 40.171 orang yang terinfeksi coronavirus. Bandingkan dengan kasus SARS yang menginfeksi 8.098 orang dengan jumlah korban tewas sebanyak 774 orang.
Sejauh ini, WHO belum menyatakan wabah coronavirus adalah pandemik -wabah yang menyebar luas ke seluruh dunia. Masih dikategorikan epidemik di banyak tempat sekaligus. “Pertumbuhan kasus-kasus baru masih terus berakselerasi, kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreysus sambil menambahkan masih ada peluang untuk menahan laju penyebaran.
Pemerintah Cina dinilai sudah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai prosedur seperti deteksi dini, isolasi dan perawatan yang terinfeksi, serta mendeteksi kontak dengan pasien dan detensi sosial. Langkah-langkah mendasar untuk menghadapi wabah itu dinilai cukup untuk mencegah penyebaran infeksi ini.
Namun, strategi Cina menghadapi virus ini akan diuji dengan kembalinya masyarakat bekerja. “Jika faktanya ada lonjakan saat masyarakat kembali bekerja di awal pekan ini, maka kita akan sadar, kita dalam masalah selanjutnya kita harus libur lagi. Dan saya yakin pemerintah akan melakukan hal itu,” kata Direktur Center for Infection and Immunity, Columbia University, W. Ian Lipkin.
Sejumlah kota seperti Beijing, Shanghai, Zhejiang, dan Gaundong mendesak agar pekerja mulai masuk kerja pekan ini. Mengizinkan para pekerja untuk kembali bekerja sangat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan memberikan dukungan untuk mencegah penyebaran.
***
Di sisi lain, Pemerintah Cina berkejaran dengan waktu untuk menemukan obat coronavirus. Salah satu kandidat adalah Kaletra, obat antiretroviral untuk penderita HIV yang dibuat perusahaan obat raksasa AS, AbbVie Inc. Obat ini berfungsi mencegah tubuh melepas enzim-enzim tertentu yang diperlukan sel untuk membelah diri.
Para peneliti kedokteran di Cina optimistis dengan potensi Kaletra untuk menyembutkan penyakit akibat coronavirus Wuhan. Obat ini dulu juga efektif untuk melawan SARS. Tercatat para peneliti sudah menguji coba 10 jenis obat, termasuk obat antimalaria, Darunavir (antiretroviral HIV), dan sejumlah obat flu.
Chen Ruoping, 57 tahun, warga Wuhan yang tertular coronavirus dan paru-parunya kini bermasalah, termasuk yang kesulitan mendapat dukungan pengobatan dari rumah sakit. Keluarganya sibuk mencari Kelizhi (sebutan untuk Kaletra di Cina) di pasar online.
Sejak akhir Januari lalu, Komisi Kesehatan Nasional Cina sudah memperingatkan bahwa belum ada obat antiviral yang efektif, namun disarankan untuk mengombinasikan obat antiretroviral lopinavir dan ritonavir, kombinasi yang sama yang digunakan di Kaletra.
Saran itu mendapat dukungan dari Wang Guangfa, spesialis pernafasan di Peking University First Hospital. Dokter yang terkenal sejak wabah SARS itu mengaku menelan dua obat itu.
Dokter Wang tertular saat merawat pasien di Wuhan. Suhu tubuhnya mulai menurun sejak minum obat itu. “Kebanyakan pasien butuh waktu lebih dari satu atau dua minggu untuk membaik,” katanya.
Kisah sukses dr Wang ini mendorong keluarga pasien meburu obat itu, seperti dilaporkan laman WSJ. Persoalannya, obat itu sulit didapat. Pemerintah Cina menyediakan obat itu hanya untuk pasien HIV dan perlu resep dokter untuk mendapatkanya.
Bulan lalu, AbbVie yang berpusat di Chicago menyumbangkan Kaletra senilai US$2 juta untuk “experimental option”. Dukungan itu merespons permintaan otoritas kesehatan Cina. Namun tetap saja, aksesnya terbatas, bahkan untuk fasilitas-fasilitas kesehatan di Wuhan.
Rosyid