
Jumlah yang tertular coronavirus terus bertambah. WHO belum menetapkan sebagai kasus pandemik. Pemerintah Cina meminta penduduknya kembali kerja dengan resiko penyebaran menjadi tidak terkendali.
Seperti direncanakan Senin (10/2) masyarakat Cina kembali bekerja setelah libur panjang Imlek, kecuali propinsi Hubei, epicentrum wabah coronavirus. Pemerintah menghimbau warganya kembali ketempat kerja agar ekonomi kembali bergerak. Pabrik-pabrik bisa kembali memproduksi barang. Terutama barang-barang yang dibutuhkan untuk melawan wabah.
Seperti pidato Perdana Menteri Li Keqiang didepan Sidang Kabinet pekan lalu. PM Li menekannya pentingnya untuk menjaga pemulihan produksi. “Kita harus memberikan dukungan yang lebih baik untuk melawan dan mengendalikan wabah, sekaligus mengamankan kondisi normal ekonomi dan masyarakat,” tegas Li.
Dampak wabah ini mulai menggigit ekonomi. Harga-harga merambat naik, didorong harga pangan dan makanan segar. Harga pangan naik hampir 21 persen. Daging babi naik lebih dari 100 persen. Consumer price index (CPI) yang menjadi tolok ukur tingkat inflasi retail tercatat 5.4 persen pada Januari naik dari 4.5 persen pada Desember.
Ekonomi Hong Kong juga mulai terdampak akibat terganggunya bisnis, travel dan rantai pasokan ke pulau itu. Negara-negara Asia Tenggara yang banyak menerima wisatawan dari Cina Daratan juga mulai merasakan gangguan.
Sejumlah analis yang dikutip laman SCMP seperti Oxford Economics menurunkan perkiraan pertumbuhan Cina jadi 5.4 persen pada 2020 dibandingkan 6 persen tahun lalu. Angka serupa juga dilansir UBS.
Warga yang kembali ketempat kerjanya masih membawa kekhawatiran soal coronavirus Wuhan. Stasiun kereta hanya mengijinkan penumpang bermasker. Sejumlah kantor menerapkan aturan baru, melepas alas kaki diluar pintu. Pemerintah Beijing membebaskan warganya menggunakan kendaraan pribadi untuk menghindari angkutan umum. The Guardian melaporkan meskipun pemerintah ingin warganya kembali bekerja, jalan-jalan masih sepi. Angkutan umum masih sepi.
Data China Railway Corporation menyebutkan sekitar penumpang yang bepergian di akhir liburan Imlek sekitar 25 persen dari kondisi normal. Civil Aviation Administration of China mengatakan jumlah penerbangan di China turun hingga 50 persen pada pekan lalu. Kursi yang terisi juga turun hingga 45 persen saja.
Wabah ini memang masih jauh dari tertangani. Komisi Kesehatan Nasional Cina merilis rekor baru. Pada hari Minggu (9/2) jumlah yang tewas pada hari itu mencapai 97 orang. Lebih banyak dari rekor sebelumya yang terjadi Sabtu (8/2) yang tercatat jumlah tewas 89 orang. Inilah tingkat kematian harian tertinggi selama ini.
Secara statistik, coronavirus sudah melampaui SARS ( November 2002- Juli 2003))di banyak aspek. Data yang dirilis Komisi Kesehatan Nasional Cina total yang terinfeksi mencapai 40.171 orang. SARS yang terinfeksi 8.098 orang. Sementara yang tewas karena SARS sebanyak 774 orang.
WHO memang belum menyatakan wabah coronavirus adalah pandemik -wabah yang menyebar luas ke seluruh dunia-. Masih dikategorikan epidemik di banyak tempat sekaligus. WHO percaya wabah ini bisa dikendalikan. “Pertumbuhan kasus-kasus baru masih terus berakselerasi, kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreysus sambil menambahkan masih ada peluang untuk menahan laju penyebaran.
Pemerintah Cina dinilai sudah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai prosedur seperti deteksi dini, isolasi dan perawatan yang terinfeksi, mendeteksi kontak dengan pasien dan social detention. Langkah-langkah mendasar untuk menghadapi wabah itu dinilai cukup untuk mencegah penyebaran infeksi ini.
Strategi Cina menghadapi virus ini akan diuji dengan kembalinya masyarakat bekerja. “Jika faktanya ada lonjakan saat masyarakat kembali bekerja di awal pekan ini, maka kita akan sadar, kita dalam masalah selanjutnya kita harus libur lagi. Dan saya yakin pemerintah akan melakukan hal itu,” kata W. Ian Lipkin, direktur Center for Infection and Immunity, Columbia University, Minggu (9/2). Lipkin yang terlibat pula saat wabah SARS menilai coronavirus sangat menular.
Sejumlah kota seperti Beijing, Shanghai, Zhejiang dan Gaundong mendesak agar pekerja mulai masuk kerja pekan ini. Mengijinkan para pekerja untuk kembali bekerja sangat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan memberi dukungan untuk mencegah penyebaran. Resikonya pergerakan para pekerja diseluruh negeri akan memperburuk penyebaran coronavirus.
“Pasokan masker, baju pengaman dan disinfectan sangat tergantung pada seberapa banyak karyawan yang kembali bekerja seiring semakin menipisinya persediaan ditoko-toko,” katanya. kata Lu Zhengwei, chief economist di Industrial Bank, Shanghai.
***
Sementara itu, pemerintah Cina berkejaran dengan waktu untuk menemukan obat coronavirus. Salah satu kandidat adalah Kaletra, obat antiretroviral untuk penderita HIV yang dibuat perusahaan obat raksasa AS AbbVie Inc. Obat ini berfungsi mencegah tubuh melepas enzim-enzim tertentu yang diperlukan sel untuk membelah diri.
Para peneliti kedokteran di Cina optimis dengan potensi Kaletra untuk menyembutkan penyakit akibat coronavirus wuhan. Obat ini dulu juga efektif untuk melawan SARS. Tercatat para peneliti sudah ujicoba 10 jenis obat termasuk obat anti malaria, Darunavir (antiretroviral HIV) dan sejumlah obat flu.
Wuhan menyiapkan 12 rumah sakit khusus untuk perawatan pasien akibat coronavirus. Mereka juga buru-buru membangun atau memodifikasi fasilitas kesehatan lain untuk merawat pasien-pasien dalam kondisi parah. Itupun masih menyisakan ribuan orang yang sudah terjangkit maupun terduga/suspect yang harus mengkarantina dirinya sendiri di rumah atau hotel, dengan akses yang terbatas terhadap dukungan dokter. Dan dalam kondisi rumah sakit kota yang sangat sibuk dan kekurangan obat eksperimental, mereka yang sebelumnya suspect kini mungkin sudah terjangkit dan harus mengobati dirinya sendiri.
Seperti Chen Ruoping 57, yang tertular dan paru-parunya kini bermasalah. Warga Wuhan ini termasuk yang kesulitan mendapat dukungan pengobatan dari rumah sakit. Keluarganya berusaha mencari pengobatan alternatif sibuk mencari Kelizhi lewat online. Kelizhi nama Kaletra di Cina.
Sejak akhir Januari lalu, Komisi Kesehatan Nasional Cina sudah memperingatkan bahwa belum ada obat antiviral yang efektif, namun disarankan untuk mengkombinasi obat antiretroviral lopinavir dan ritonavir, kombinasi yang sama yang digunakan di Kaletra.
Saran itu mendapat dukungan dari Wang Guangfa, spesialis pernafasan di Peking University First Hospital. Dokter yang terkenal sejak wabah SARS itu mengaku menelan dua obat itu. Dia tertular saat merawat pasien di Wuhan. Suhu tubuhnya mulai menurun sejak minum obat itu. “Kebanyakan pasien butuh waktu lebih dari satu atau dua minggu untuk membaik,” katanya. Kisah sukses dr Wang ini mendorong keluarga pasien meburu obat itu, seperti dilaporkan laman WSJ.
Persoalannya, obat itu sulit didapat. Pemerintah Cina menyediakan obat itu hanya untuk pasien HIV dan perlu resep dokter untuk mendapatkanya. Bulan lalu, AbbVie yang berpusat di Chicago menyumbangkan Kaletra senilai USD 2 juta untuk ‘experimenta option’. Dukungan itu merespon permintaan otoritas kesehatan Cina. Namun tetap saja, aksesnya terbatas, bahkan di rumahsakit rumah sakit Wuhan. Pihak rs mencadangkan obat itu hanya untuk pasiesn dengan kondisi gawat.
Bagi banyak orang, jalur tidak resmi menjadi satu-satunya pilihan.