
Sejumlah alutsista modern masuk dalam daftar belanja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Mengutamakan produk industri nasional. Jokowi mewanti-wanti agar tidak terjadi markup.
Sejak dilantik, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto langsung tancap gas menyambangi tujuh negara. Lawatannya ke luar negeri tersebut semata-mata hanya untuk menjalankan tugas utama sebagai Menhan: diplomasi pertahanan. Dalam kerangka diplomasi pertahanan juga, ia berupaya mengimplementasi modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Tercatat, tujuh negara sudah disambangi Prabowo. Yang pertama ke Malaysia pada 14 November lalu, kemudian Thailand pada 17 November, Turki pada 27-29 November, dan Cina pada 15 Desember. Lalu, ke Jepang pada 20 Desember, Filipina pada 27 Desember, dan terakhir ke Prancis pada 11-13 Januari lalu.
Sepulang dari Prancis inilah, Prabowo santer berencana akan memboyong alutsista. Di antaranya, sang jenderal kepincut dan berencana membeli 48 jet tempur Dassault Rafale, empat kapal selam Scorpene, dan dua kapal korvet GoWind buatan Prancis.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung merespons kabar tersebut, dan mengatakan bahwa belum menyepakati rencana Menhan Prabowo Subianto yang ingin membeli alutsista dari Prancis.
Jokowi mengatakan, wacana pembelian alutsista itu akan dibahas terlebih dulu dalam rapat terbatas yang akan berlangsung di Surabaya pada Senin, 27 Januari. Ndilalah-nya, dalam ratas tersebut Jokowi belum memberikan keputusan apa pun. Malah yang ada, Presiden Jokowi kembali berbicara mengenai perkembangan teknologi militer. Ia meminta pengembangan alutsista lebih menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.
Seperti halnya soal pengembangan alutsista Indonesia, yang mampu menyerap dan mengadopsi pengembangan militer terkini yang serba digital. "Ini memerlukan lompatan, tetapi saya yakin dengan BUMN, kita berpartner dengan perusahaan luar yang sudah memiliki reputasi ini." Jokowi menegaskan, saat rapat terbatas di PT PAL, Surabaya, Jawa Timur, Senin lalu.
Rapat tersebut dihadiri sejumlah menteri, antara lain Menhan Prabowo Subianto, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menkopolhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendy, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menlu Retno Marsudi, dan Menkeu Sri Mulyani.
Bahkan, hadir pula Menkominfo Johnny G. Plate, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan A. Djalil, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, hingga Kapolri Jenderal Idham Azis.
Dalam ratas tersebut, Jokowi meminta jajarannya untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dalam beberapa puluh tahun ke depan. Menurutnya, perkembangan sistem senjata ke depan akan lebih otonom. "Saya kira akan lebih cepat mengadopsi perkembangan teknologi militer terkini dan kita betul-betul harus mampu mengatasi lompatan teknologi militer dalam jangka waktu 20, 30, 50 tahun ke depan," Jokowi mengatakan.
Ia menambahkan, Indonesia juga harus mampu memahami dan menguasai teknologi automatisasi, teknologi sensor yang mengarah pada penginderaan jarak jauh serta teknologi IT seperti 5G, komputasi kuantum yang mengarah pada perkembangan sistem senjata yang otonom serta pertahanan siber.
Dalam membelanjakan anggaran untuk alutsista ini, Jokowi berpesan kepada Proabowo agar mengelolanya dengan baik. "Harus efisien, bersih, tak boleh ada markup lagi dan yang paling penting mendukung industri dalam negeri kita,"" Jokowi wanti-wanti.
Belum adanya keputusan yang diberikan Jokowi, juga diakui oleh Deputi V Bidang Kajian Pengelolaan Isu-isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Azasi Manusia Strategis Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswary Pramodha Wardhani. Menurutnya, sampai saat ini belum dapat dipastikan apakah Jokowi bakal menyetujui impor alutsista. Tetapi yang jelas, Presiden Jokowi menginstruksikan agar pengadaan alutsista harus ditujukan untuk memenuhi minimum essential force (MEF) pada tahun 2024.
"Presiden juga mengingatkan bahwa pembelian alutsista harus memperhatikan pendekatan daur hidup agar alutsista bisa digunakan secara berkelanjutan dalam durasi yang lama," ujar Jaleswary kepada Dwi Reka Barokah dari GATRA.
Presiden menegaskan pentingnya transfer teknologi dari negara produsen alutsista untuk mengarahkan pada kemandirian industri pertahanan. Jika pengadaan terpaksa dibeli dari luar negeri, Kementerian Pertahanan harus bisa meningkatkan kemampuan industri pertahanan dalam negeri dari hulu sampai hilir, baik itu industri pertahanan BUMN maupun swasta.
***
Menanggapi soal rencana pembelian alutsista dari Prancis tersebut, Jubir Menhan, Dahnil Anzar Simanjuntak, pun tidak membantah. Tapi menurutnya, hal tersebut masih dalam penjajakan.
Di sisi lain, penjajakan pembelian alutsista juga harus memperhatikan geopolitik dan geostrategis, karena setiap belanja alutsista pasti memberikan dampak pada sikap negara-negara tetangga dan kawasan. Selain itu, juga harus memperhatikan potensi-potensi embargo dan sebagainya.
Namun, pada prinsipnya, menurut Dahnil, Indonesia tidak bisa diintervensi oleh negara mana pun, atau korporasi terkait belanja alutsistanya. “Kita memiliki kedaulatan untuk belanja alutsista yang menurut kita sangat kita butuhkan sesuai dengan postur pertahanan yang mau kita bangun. Jadi bisa dari negara mana pun,” katanya kepada wartawan GATRA Erlina Fury Santika.
Menurutnya, Indonesia memang harus terus melakukan modernisasi alutsista. Terutama alutsista-alutsista yang strategis, untuk memperkuat pertahanan Indonesia dan salah satu fokus Menhan Prabowo adalah tersedianya alutsista strategis. “Kita maksimalkan penyediaan dari industri dalam negeri, dan untuk yang belum bisa tentu kita beli dari luar negeri," Dahnil mengatakan.
Dahnil mengakui, meskipun anggaran Kemhan naik menjadi Rp127,4 triliun, jumlah tersebut tidak dikelola sepenuhnya untuk Kemhan. "Namun dibagi kepada Mabes TNI, AD, AL, dan AU serta Kemhan sendiri. Kemhan saja mengelola langsung sekitar kurang lebih 21%, Mabes TNI 9%, AD 61%, AL 22%, AU 16%," Dahnil menuturkan.
Bahkan, ia membeberkan, untuk belanja alusista pun kurang-lebih hanya 30% dari total anggaran. "Memang masih lebih besar untuk belanja pegawai. Dan alokasi tersebut jauh dari ideal, namun dengan kondisi seperti itu, tentu Kemhan dan TNI berusaha semaksimal mungkin untuk memastikan alutsista strategis bisa kita peroleh,"" Dahnil mengatakan.
Dengan anggaran yang ada, agar semua dapat tercukupi, solusinya adalah semua belanja alutsista harus tepat guna dan ekonomis namun memberikan efek positif bagi pertahanan Indonesia. Sebab, persoalan pertahanan adalah masalah kedaulatan Indonesia, dan Prabowo tidak main-main dengan hal tersebut. "Pak Menhan sejak awal juga sudah wanti-wanti, agar tidak boleh ada kebocoran anggaran," Dahnil menambahkan.
Persoalan pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, sebelumnya sudah menyampaikan dalam pidato Rapim Kemhan 2020 pekan lalu. Bahwa, pembangunan sistem pertahanan akan bersumber pada sumber daya nasional. Hal itu sesuai dengan tema Rapim Kemenhan 2020 yang bertajuk 'Pertahanan Semesta yang Kuat Menjamin Kelangsungan Hidup NKRI'.
Jadi, Prabowo mengajak untuk turut serta membangun sistem pertahanan yang kuat dengan memanfaatkan sumber daya nasional. Sumber daya nasional yang digunakan itu termasuk sumber daya alam maupun sumber daya buatan yang disatupadukan.
Untuk mencapai hal tersebut, ia meminta seluruh elemen masyarakat bersatu dalam menegakkan kedaulatan Negara. Dengan persatuan yang kokoh. Supaya keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman dan tantangan pada masa depan dapat ditegakkan.
***
Sementara itu, Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, mengakui bahwa sebagai negara maritim dengan kepulauan yang terbentang luas, alutsista yang Indonesia miliki masih perlu ditambah untuk mengimbangi luas wilayah, jumlah penduduk, objek-objek vital pertahanan, dan wilayah terdepan yang berhadapan dengan wilayah negara lain.
Menurutnya, konsep pertahanan negara dengan kesadaran sebagai negara maritim membutuhkan alutsista pendukung yang perlu diperkuat. "Kapal-kapal patroli perbatasan lengkap (fregat, korvet, dan lainnya), kapal perang, persenjataan tempur maritim, itu semua masih perlu kita lengkapi minimal sampai mencapai MEF. Demikian pula untuk kebutuhan matra darat dan udara. Kita perlu melengkapi MEF," katanya kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.
Hal senada juga diutarakan pengamat pertahanan dari LIPI, Muhamad Haripin, bahwa kondisi alutsista Tanah Air bisa dibilang belum memadai, baik jika diukur dari poryeksi ancaman atau pun kebutuhan strategis untuk perlindungan teritori serta menjaga perbatasan. "Jadi memang belum memadai. Jadi, saat ini kita memasuki Fase 3 MEF untuk tahun 2019-2024. Tetapi, bahwa program MEF itu juga akan terpenuhi secara maksimal di tahun 2024 itu," Haripin menjelaskan kepada wartawan GATRA Ucha Julistian Mone.
Menanggapi rencana Menhan Prabowo, yang ingin melakukan pengadaan alutsista dari Prancis, ia meyakini bahwa kesepakatan dengan Prancis masih akan menjadi proses yang panjang. "Karena kerjasama Prancis ini kan harus dilihat juga di bidang apa, menyangkut instrumen apa, dan sebagainya. Untuk hal itu, belum saya lihat ada perkembangan sudah cukup lama dengan Prancis ini," Haripin mengatakan.
Namun, ia menyadari jika melihat kebutuhan alutsista untuk hal strategis mulai dari sekarang hingga 2024 itu akan sulit terpenuhi jika dari dalam negeri. Jadi lebih baik seiring ada impor, perusahaan BUMN Indonesia bisa memanfaatkannya dengan berkolaborasi, agar bisa meningkatkan kapasitas produksi, kemampuan teknologi, dan SDM-nya bisa lebih adaptif dan inovatif terhadap perkembangan ke depan.
Gandhi Achmad
Anggaran Kementerian Pertahanan 5 Tahun Terakhir:
Tahun 2016 Rp98,1 triliun
Tahun 2017 Rp117,3 triliun
Tahun 2018 Rp106,8 triliun
Tahun 2019 Rp108,4 triliun
Tahun 2020 Rp127,4 triliun
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu, diolah