
Jakarta, gatra.net - Peneliti INDEF, Dhenny Yuartha menyebut hak menguasai negara atas Sumber Daya Alam (SDA) yang tertera dalam pasal 33 UUD 1945, terancam dilemahkan melalui Omnibus Law. Hal ini terkait pada perubahan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menjadi Perjanjian Berusaha Pertambangan Khusus (PBKP).
Sebelumnya, lahan IUPK hasil perpanjangan, wajib menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan izinnya harus dilelang terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelum diperebutkan swasta. Dalam PBKP, perpanjangan tidak perlu melalui lelang atau ditawarkan kepada BUMN.
Padahal, dalam putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 menyebutkan peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas SDA.
"Pengelolaan langsung yang dimaksud disini baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) atau melalui BUMN," katanya dalam Diskusi Online INDEF, Jumat (31/1).
Jika pengelolaan ini diserahkan pada perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar instansi negara, keuntungan bagi negara akan terbagi. Sehingga, manfaat bagi rakyat juga akan berkurang.
"Sehingga dalam upaya untuk kemanfaatan sumber daya dan tingkat pemerataan manfaat SDA, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang berakhir wilayahnya tetap diusahakan ke BUMN dan/atau BUMD," ujar Dhenny.
Selain itu, isu terbaru dalam Omnibus Law ini juga menyebut akan adanya penghapusan pungutan royalti pada eksplorasi batubara. Isu ini juga disinyalir bisa menggerus penerimaan negara bukan pajak dari SDA.
"Menghapus pungutan royalti menurut saya tidak lah tepat. Padahal, negara lain seperti Korea Selatan bahkan telah menetapkan pungutan yang terus meningkat untuk batubara dari sekitar $0,1 per MMBTu pada 2013, menjadi $1,6 per MMBtu pada 2019. Rencana penghapusan royalti menunjukkan pemerintah abai terhadap usaha pemerataan manfaat SDA," tutupnya.