Home Laporan Khusus Skema Perampokan Asuransi Pelat Merah

Skema Perampokan Asuransi Pelat Merah

Kasus gorengan saham tidak hanya terjadi di Jiwasraya. Praktek serupa juga diduga menerpa Asabri, dan jauh sebelumnya mendera Dana Pensiun Pertamina. Modus operandi dan dugaan pelakunya punya kesamaan. BPK melakukan pemeriksaan investigasi. Setelah lima orang ditetapkan sebagai tersangka perampokan Jiwasraya, siapakah aktor intelektual di balik tiga kasus ini?


Dibalut rompi merah jambu, lima orang tersangka perampokan Jiwasraya keluar dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jl. Sultan Hasanuddin, Kebayorn Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa (14/1) sore kemarin. Salah satunya adalah Benny Tjokrosaputro yang terlihat berjalan lunglai usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Benny disangka oleh Kejagung terlibat dalam mega skandal Jiwasraya yang baru-baru ini kembali mencuat ke permukaan setelah lama terpendam.

Selain Benny, empat tersangka lainnya adalah mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, pensiunan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat.

Hanson International, perusahaan di bawah kendali Benny Tjokrosaputro dengan kode emiten MYRX kerap muncul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Contohnya, MYRX muncul dalam LHP Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK terkait Jiwasraya yang dikeluarkan pada April 2017.

Dalam LHP itu, pada Desember 2015 Jiwasraya membeli mediun term note (MTN) atau surat utang jangka menengah milik MYRX, yang dalam laporan itu disebut sebagai Hanson International (PT. HI), sebesar Rp 680 Milyar atau sekitar 97,14 persen dari total MTN yang dikeluarkan. Salah satu kajian internal Jiwasraya yang mendorong untuk membeli MTN itu adalah PT. HI bisa memberikan pengembalian dengan bunga hingga 12 persen dalam waktu tiga tahun yang jatuh tempo pada 23 Desember 2018. Prosentase pengembalian bunga ini dinilai terlalu tinggi dan mengada-ada jika dibandingkan dengan PT. Danareksa yang sudah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Danareksa hanya berani memberikan imbal balik MTN paling besar di angka 9,5 persen.

BPK, dalam penelusurannya menemukan sejumlah fakta bahwa MTN yang dikeluarkan PT. HI tidak tunduk dalam aturan keuangan negara. Hal ini memang tercantum dalam memorandum atau prospektus yang dikeluarkan PT. HI terkait penjualan MTN itu. Karena tidak ada aturan yang bisa mengikat MTN PT. HI, maka jika terdapat situasi gagal bayar alias default, tidak ada garansi PT. HI harus mengembalikan MTN tersebut. Nah, dengan gagal bayarnya PT. HI pada Desember 2018, maka Jiwasraya juga tertimpa masalah likuiditas dan berujung pada terganggunya cashflow.

Persoalan pelik Jiwasraya ini sebenarnya sudah menemukan titik terang. Terlebih ketika BPK sudah diminta oleh Kejaksaan Agung untuk melakukan pemeriksaan investigasi menyeluruh dalam tiap transaksi Jiwasraya. Bagi Achsanul Qosasi, anggota III BPK, LHP PDTT itu merupakan permulaan dari penelusuran BPK terkait dugaan fraud di Jiwasraya. "Sudah diputuskan oleh sidang badan, lalu kita bentuk tim untuk melakukan pemeriksaan investigasi ini. Yang pasti rekomendasinya, sangat berat itu nanti. Ada pidananya, ada kerugian negaranya," ujarnya kepada Qanita Azzahra dari Gatra.

Investigasi BPK ini kelak akan mengembangkan penelusurannya ke beberaapa pihak, seperti produk Jiwasraya dan juga reksa dana yang digunakan. Menurut prediksinya, potensi kerugian negara bisa lebih dari apa yang sekarang sudah terendus oleh Kejaksaan Agung. "Karena jika bicara Jiwasraya ini sifatnya kumulatif dari tahun krisis. Lalu mengambil produk yang high risk, high return. Menambal bolong-bolong. Bisa jadi kalau lebih dari 13 Triyun," jelasnya.

Jika dilihat dari sistem yang dimainkan, semestinya kasus Jiwasraya ini merupakan kesalahan kolektif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cenderung diam dan direksi seenaknya memainkan saham. BPK, lanjut Achsanul, memang sudah memberikan rekomendasi agar memperbaiki standar operation procedure (SOP) Jiwasraya dalam berinvestasi. "Saham-saham yang busuk diganti dengan saham baru. Itu yang paling pas," ujarnya.

Kuasa hukum Benny, Muchtar Arifin membantah bahwa kliennya terlibat dalam upaya perampokan berjamaah kepada Jiwasraya. “Jadi, hanya kaitannya Pak Benny pernah melakukan pinjaman yang MTN (Medium Term Note) tahun 2015 senilai Rp 608 milliar dan sudah selesai tepat waktunya pada tahun 2016. Jadi setahun kemudian selesai," ujarnya kepada Hanisar Achmad Fauzan dari Gatra.

Menurutnya, saat ini terlalu banyak terpaan isu dan pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta hukum. "Nah ini kan banyak narasi-narasi yang dibangun diluar yang tidak faktual, faktanya seperti itu," ujarnya. Muchtar menjelaskan bahwa ada belasan hingga puluhan pertanyaan yang diajukan kepada kliennya. Meski belum bisa dijelaskan secara detail karena menyangkut materi pemeriksaan. "Ada sekitar 15-16 pertanyaan, ya kalau materinya saya pikir sebaiknya itu biar dijelaskan oleh tim dari pemeriksa nanti," ujarnya.

***

Persoalan pembelian MTN oleh Jiwasraya ini baru permulaan. PT. HI juga diduga terlibat dalam perampokan Asabri dengan modus yang hampir mirip. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2016, BPK juga menemukan persoalan Asabri dengan PT. Harvest Time (PT. HT) yang juga milik Benny Tjokro.

Dalam laporan itu, ada 15 temuan yang kemudian memuat 19 persoalan dalam pengelolaan keuangan Asabri. "Terdiri atas 5 permasalahan ketidakefisienan senilai Rp834,72 miliar, 12 permasalahan ketidakefektifan, 1 permasalahan potensi kerugian negara senilai Rp637,1 miliar, dan satu permasalahan kekurangan penerimaan senilai Rp2,31 miliar," ungkap laporan tersebut.

BPK melihat adanya gejala serupa dengan Jiwasraya ketika Asabri membeli saham PT. WCS yang merujuk pada Wiracipta Senasatria sebesar 18 persen atau senilai Rp1,2 Trilyun. Usut punya usut, dalam perjanjian yang tertulis dalam Memorandum of Understanding (MoU) 4 November 2015, Asabri seharusnya membeli saham PT. Harvest Time (PT. HT) yang dimiliki PT. Mandiri Mega Jaya, salah satu anak perusahaan Hanson International.

Persoalan timbul karena kepemilikan saham PT. HT di PT. WCS tidak sampai 18 persen. Bahkan jika dikalkulasi, total saham PT. HT pun hanya berkisar di angka Rp705 Milyar. "Jual beli saham PT HT yang dimiliki PT WCS dengan persentase sebesar 18% tidak menunjukkan kondisi sebenarnya serta nilai yang disepakati tidak wajar," jelas laporan tersebut.

Meski dalam kondisi tak wajar, Asabri tetap memberikan uang muka kepada PT. WCS sebesar Rp802 Milyar. Persoalan semakin pelik ketika saham PT. WCS tak kunjung diterima Asabri karena terlanjur terjual ke pihak lain. "Selanjutnya, PT Asabri membatalkan pembelian saham PT HT kepada PT WCS, dengan cara PT Asabri melakukan pembelian tanah Sdr BTj (merujuk nama Benny Tjokro) di Perumahan Serpong Kencana senilai Rp732 miliar, dan sisa pembelian saham berikut bunganya dikembalikan secara tunai," tulis laporan itu.

Asabri pun menjawab tudingan laporan ini. Djoko Rachmady, Sekretaris Perusahaan Asabri melihat bahwa strategi investasi yang diterapkan Asabri sebenarnya sudah sesuai dengan semua aspek regulasi.

Bahkan, pada November tahun lalu, Asabri masih bisa bicara pertumbuhan satu digit selama 2019. Pertumbuhan sedigit ini bisa terjadi, kata Djoko, karena sikap kehati-hatian dalam menempatkan dan mengelola skema investasi. Meski demikian, Kementerian BUMN tetap akan bersih-bersih di Asabri. Arya Sinulingga, staf khsusus Kementerian BUMN menjelaskan bahwa dua tersangka dari pihak swasta, yakni Benny Tjokro (MYRX) dan Heru Hidayat sebagai pemiliki PT. Trada Alam Mineral (TRAM) harus menyelesaikan persoalan gagal bayar di Asabri.

Arya juga melihat adanya perbedaan skema perampokan di Jiwasraya dan Asabri. Menurutnya, Jiwasraya memang bisa melakukan perdagangan dengan cara menjual produknya, sementara Asabri hanya fokus pada pengelolaan dana pensiun TNI/Polri. Namun memang, semua portofolio saham yang dimiliki Asabri sedang rontok.

Namun, jika dilihat dari sisi keuangan, Asabri sebenarnya tidak ada masalah. Arya menuturkan bahwa tiap klaim yang diajukan oleh pemegang polis Asabri bisa dicairkan dan tidak ada tunggakan. "Ini bedanya dengan Jiwasraya yang gagal bayar," ujarnya.

Jejak Hanson Internasional (MYRX) ternyata tidak terhenti di kasus Jiwasraya dan Asabri. Hanson pun sempat disebut dalam kasus yang membelit Dana Pensiun (DP) Pertamina pada 2014 hingga 2015. Meski tidak sebanding dengan Edward Soeryadjaya yang memainkan saham DP Pertamina melalui Sugih Energy (SUGI), tapi Hanson sempat disebut akan diakuisisi oleh DP Pertamina sebesar 40 persen pada tahun 2015 lalu. "Kami tidak sendiri dalam mengakuisisi perusahaan properti ini. Kami bekerjasama dengan perusahaan keuangan asal Timur Tengah akan akuisisi 40% salah satu saham properti," kata Dirut DP Pertamina kala itu, Helmi Lubis.

Dan benar saja, sejak 22 Desember 2014 hingga April 2015, Helmi membeli saham tidak liquid dengan menggunakan dana pensiun Pertamina. Saham yang tidak liquid ini tentu saja sulit untuk diperdagangkan di bursa. Daftar saham yang dibeli Helmi antara lain ELSA, KREN, MYRX, dan SUGI, di mana Edward duduk di kursi pemegang saham mayoritas. Di SUGI, Helmi melakukan penempatan investasi dengan membeli saham sebanyak 2.004.843.140 lembar. Dengan penempatan saham ini, negara dirugikan sebesar Rp 599 Milyar.


Aditya Kirana