
Jakarta, GATRA Review.com - Banyak harapan yang disematkan pada periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain karena adanya penegasan dari Presiden Jokowi untuk menuntaskan janji politiknya dengan tanpa beban, Jokowi juga membuat rambu-rambu politik agar pemerintahan bentukannya ini dapat secara efektif dan fokus pada apa yang menjadi visi dan misinya untuk periode keduanya. Meski tidak secara eksplisit, Jokowi mengakui bahwa pada periode pertamanya dinamika di kabinetnya banyak dipengaruhi oleh inisiatif para menterinya yang kadang tidak selaras dengan program politiknya. Sehingga, Jokowi ingin menekankan bahwa untuk fokus pada realisasi program dan janji politiknya wajib dilakukan oleh seluruh jajaran pembantunya tanpa kecuali.
Dengan Kabinet Indonesia Maju yang terbentuk lebih gemuk daripada kabinet periode pertamanya, Jokowi tetap optimistis bahwa kali kedua pemerintahannya ini akan lebih efektif menjalankan dan merealisasikan program dan janji politiknya dalam satu visi dan misi presiden. Penekanan bahwa situasi yang dihadapi oleh Indonesia dalam periode kedua ini menegaskan pentingnya untuk menyelaraskan apa yang menjadi kebijakan politik presiden terpilih. Tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah bagaimana para menteri tersebut merealisasikan visi dan misi presiden untuk lima tahun keduanya.
Pada periode pertamanya, Jokowi juga menyadari bahwa ada yang tidak selaras dengan apa yang telah ditegaskan dalam setiap kebijakan yang dibuatnya. Meski demikian , Jokowi merasa bahwa hal itu masih bisa ditoleransi dan ditutup oleh kebijakan politik terkait lainnya. Namun pada periode keduanya ini, penegasan untuk mengelola pemerintahan tanpa ada cela dan kemungkinan para pembantunya berinisiatif terlalu jauh dan menyimpang dari visi dan misinya, maka akan diganti.
Pendekatan Jokowi dalam mengupayakan agar para menterinya fokus pada visi dan visi presiden selaras dengan penekanan Daniel Kaufmann (1999), yang mengungkapkan bahwa pemerintahan yang efektif harus dapat diukur kualitas layanan publik, kualitas layanan sipil dan tingkat kemandiriannya dari tekanan politik, kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, serta kredibilitas komitmen pemerintah terhadap kebijakan tersebut. Dengan bahasa yang lebih simpel, Jokowi menerjemahkan pemerintahan efektif yang diungkap oleh Kaufmann dengan menegaskan bahwa tidak ada visi dan misi menteri, yang ada visi dan misi presiden.
Satu Tarikan Napas
Kekhawatiran sejumlah pihak tentang kemungkinan tidak solidnya kabinet pilihan Jokowi ini tampak di depan mata saat antar-menteri tidak satu suara di media terkait dengan pro dan kontra kemungkinan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), atau berkaitan dengan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri tentang Radikalisme.
Permasalahan ini salah satunya ditengarai karena ego politik dari tiap-tiap menteri serta tidak cukup mampu mengelola koordinasi dan komunikasi yang efektif, yang harusnya diemban oleh menteri terkait dan atau kementerian koordinator. Sejauh ini, meski permasalahan tersebut telah diklarifikasi, publik tidak mudah lupa atas tidak solidnya menteri akan membuat ketidakefektifan dari kinerja kabinet.
Meskipun situasi yang dihadapi dengan tambahan wakil menteri yang lebih banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya, periode kedua Jokowi ini harus lebih efektif dan dapat merealisasikan janji politiknya. Karena itu, jikapun hal yang pernah terjadi pada periode pertama, yakni sejumlah menteri tidak dapat mengikuti irama dan langgam politik yang ada, maka perlu langkah-langkah strategis yang dapat dijadikan pilihan oleh Presiden Jokowi untuk tetap tidak mengurangi dan atau menginterupsi apa yang sudah dilakukan pada periode pertama dapat berlanjut pada periode kedua ini.
Momen 100 hari adalah momentum yang dapat dilihat sebagai pijakan untuk mulai melakukan langkah-langkah strategis tersebut. Artinya Jokowi bisa mulai menilai apakah para pembantunya dapat mengikuti irama dan langgam politiknya atau tidak. Sejauh hal itu dapat dilakukan oleh Jokowi sebagai presiden, maka kemungkinan akan adanya interupsi oleh kementerian yang tidak sejalan dengan kebijakan dirinya dapat diminimalkan dan atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Plihan untuk mengevaluasi menteri-menteri pada 100 hari pertama mungkin bukan pilihan bijak, namun mengingatkan agar dapat lebih efektif dalam merealisasikan program-program politik yang sesuai dengan visi dan misi presiden adalah bagian dari keharusan. Ada empat tahapan yang bisa dipertimbangkan oleh Presiden Jokowi untuk dapat memastikan anggota kabinenya dapat bekerja secara efektif sesuai dengan visi dan misinya.
Yakni, pertama, Kebijakan lain yang menutupi kekurangan sebagai akibat dari inisiatif dan anggota kabinetnya dalam menyikapi isu tertentu. Pada tahap ini sudah berkali-kali dilakukan oleh Jokowi di periode pertamanya. Hasilnya memang tambal sulam, dan publik dalam sejumlah kesempatan terlanjur dibingungkan oleh situasi tersebut. Salah satu yang kemudian dilakukan berkali-kali terkait dengan tahap ini pada periode pertama Jokowi adalah berkaitan pada pengelolaan isu radikalisme dan tuduhan pemerintah mengkriminalisasi ulama.
Kedua, melakukan pendampingan pada kementerian yang dianggap tidak mengikuti arahan dan kebijakan presiden. Tahapan ini dimungkinkan apabila kesalahan dilakukan berulang-ulang dan atau tumpang tindih atas kebijakan operasional yang dibuat dengan kementerian lain. Pada tahapan ini, penekanannya ada pada kementerian yang tidak fokus dengan apa yang menjadi arahan Presiden Jokowi berkaitan dengan program yang dijalakan. Pendampingan dapat dilakukan oleh kementerian koordinator atau kementerian yang paling dekat dengan peran dan fungsi kementerian tersebut.
Ketiga, pada tahap ketiga ini, Presiden Jokowi dapat melakukan intervensi atas kementerian yang diaggap tidak cukup memiliki pemahaman yang tegas atas arah dan gerak kebijakan Presiden Jokowi yang berkaitan dengan kementeriannya. Langkah intervensi ini bisa dilakukan dengan dua bentuk, yakni dengan mengambil semua kewajiban dan kewenangan yang dimiliki oleh kementerian tersebut dengan membentuk gugus tugas lintas kementerian, atau Presiden Jokowi mengambil alih tugas kementerian dengan menyerahkannya kepada Kemenko terkait atau kementerian yang paling dekat tugasnya dengan kementerian yang diambil alih.
Keempat, Presiden Jokowi bisa memberhentikan menteri yang bersangkutan dan segera memilih figur yang cocok dengan kerja-kerja dan pola program yang akan dilakukan untuk melanjutkan apa yang seharusnya seorang menteri terkait menjalankan peran dan fungsinya.
Presiden Jokowi pada 100 hari kabinetnya ini seharusnya sudah dapat memetakan mana menteri dan wakil menteri yang berpotensi tidak seirama dan selanggam dengan dirinya. Sambil mengupayakan agar para menterinya tersebut dapat setarikan napas dengan apa yang menjadi visi serta misinya. Ada baiknya Presiden Jokowi juga menyiapkan tahapan-tahapan antisipasi kemungkinan kinerja para menterinya tidak efektif. Sebab, dengan begitu, apa yang kemungkinan berulang pada periode pertamanya dapat diantisipasi. Agar pengelolaan negara dapat dilakukan dengan satu tarikan nafas dalam bentuk implementasi visi dan misi presiden terpilih.
Muradi
Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung