Home Laporan Khusus Natuna Butuh Sikap Tegas

Natuna Butuh Sikap Tegas

Pelanggaran batas perairan Indonesia oleh kapal Cina di Natun kembali berulang. Tak ada lagi negosiasi soal wilayah ZEE Indonesia. Perkuat posisi diplomasi serta mendayagunakan potensi di laut ZEE merupakan opsi terbaik.

--------

Dua Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) kembali dikirim ke Perairan Natuna, Kepulauan Riau, pekan ini. Langkah tersebut diambil Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI lantaran masih ada? kapal-kapal berbendera Cina berkeliaran di Perairan Natuna. “Kita imbangi mereka,” kata Kepala Bakamla, Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, di Jakarta, Selasz, 7 Januari lalu.

Pengiriman armada perang tersebut bertujuan untuk mengimbangi upaya diplomasi sebagai jalan penyelesaian kemelut yang terjadi sejak awal Desember lalu dengan sejumlah kapal nelayan berbendera Cina, termasuk pengawalan dari coast guard negera tersebut.

Selain pasukan tempur laut, Pemerintah Indonesia juga mengirimkan ratusan nelayan dari Pulau Jawa untuk melaut di Perairan Natuna. “Kita akan hadir di situ (Laut Natuna Utara),” kata Taufik kepada wartawan, termasuk Erlina Fury Santika dari GATRA.

Bakamla akan melakukan pengawalan dan memastikan kondisi cuaca untuk mendukung para nelayan melaut di Perairan Natuna. Jadi kita akan lebih mengedepankan keselamatan, Taufik menambahkan.

Menurut Direktur Operasi Laut Bakamla, Laksamana Pertama Nursyawal Embun, sebelum ada permasalahan dengan kapal-kapal Cina dan coast guard-nya, Perairan Laut Natuna sudah menjadi vocal point, atau daerah operasi Bakamla. Ia pun mengatakan bahwa, kawasan itu rentan terhadap illegal fishing dan pelanggaran batas wilayah.

Saat ini, pasca-aktivitas kapal-kapal Cina di Natuna, operasi Bakamla masih fokus pada mengomunikasikan unsur-unsur pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing itu. Komunikasi akan dilakukan secara resmi mengingat kapal-kapal Cina itu berkeliaran di Natuna dengan kawalan kapal coast guard Cina.

“Mungkin pihak Cina secara resmi menganggap wilayah Natuna adalah wilayah Cina,” kata Nursyawal kepada Erlina Fury Santika dari GATRA.

***

Antisipasi Bakamla dan aksi nelayan-nelayan Indonesia melaut di Perairan Natuna merupakan respons dari sikap tidak terpuji Pemerintah Cina di wilayah perairan itu.

Pada 30 Desember 2019, kapal berbendera Cina masuk dan berkeliaran cari ikan di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kementerian Luar Negeri RI memastikan bahwa pada saat itu telah terjadi pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing dan pelanggaran oleh coast guard negara Cina di Perairan Natuna.

Pihak Kemlu telah memanggil Dubes Cina di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan.

Seperti diketahui, ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Menurut juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, pelanggaran yang dilakukan oleh RRT (Republik Rakyat Tiongkok) bukan berarti menandakan lemahnya geopolitik pemerintah Indonesia. “Kita memang secara hukum Internasional memiliki hak berdaulat di wilayah ZEE, tetapi kapasitas kemampuan kita untuk memaksimalkan dan mengeksplorasi belum maksimal,” kata Faizasyah kepada Muhammad Almer Sidqi dari GATRA.

Eksplorasi yang dimaksud ialah kurangnya fasilitas dan intervensi dari pemerintah untuk memastikan para nelayan Indonesia bisa mencari ikan di Perairan Natuna. “Juga perlu ada patroli yang rutin dan intensif,” Faizasyah menambahkan.

***

Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Cina. Indonesia juga tidak akan pernah mengakui klaim Cina tentang nine dash-line atau sembilan garis putus karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS, sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.

Sementara itu, Cina mengklaim bahwa secara historis para nelayan mereka telah lama beraktivitas di perairan yang mereka sebut bersifat unilateral. Klaim itu tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. “Itu klaim sepihak,” ujar Faizasyah.

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa klaim Cina terhadap Perairan Natuna yang didasarkan pada alasan historis, dalam sudut pandang hukum Internasional (utamanya UNCLOS), tidak memiliki dasar.

Hal ini telah ditegaskan dalam Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 dalam sengketa Filipina melawan China. Sembilan Garis Putus yang diklaim Cina pun tidak jelas koordinatnya, bahkan pemerintah Cina kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus.

Cina tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara, atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus dan pulau tersebut memiliki perairan sejenis ZEE. “Perairan sejenis ZEE disebut oleh Cina sebagai Traditional Fishing Grounds,” kata Hikmahanto kepada GATRA.

Langkah pemerintah untuk menyampaikan protes kepada Cina melalui Kemlu, kata Hikmahanto, sudah tepat. Masalahnya, protes diplomatik itu, dalam pengamatannya tidak berpengaruh terhadap aktifitas pelanggaran kapal-kapal nelayan dan coast guard Cina di wilayah ZEE Indonesia di Natuna.

Karena itulah, Hikmahanto, menyarankan agar pemerintah tidak sekadar memberikan nota protes diplomatik, namun memastikan kehadiran fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia (antara lain KKP, TNI AL dan Bakamla).

Selain itu, para nelayan Indonesia pun harus didorong oleh pemerintah untuk mengeksploitasi ZEE Natuna dan saat menjalankan aktivitas harus diberi pengawalan oleh otoritas Indonesia.

Kehadiran secara fisik wajib dilakukan oleh pemerintah, karena dalam konsep hukum internasional klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik tetapi harus ada penguasaan secara efektif (effective control).

Penguasaan efektif dalam bentuk kehadiran secara fisik ini penting. Mengingat dalam perkara Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas dasar ini.

Bandelnya Cina di Natuna Utara kali ini, menurut Hikmahanto, bisa jadi adalah upaya Cina untuk mengetahui reaksi dan soliditas para pejabat baru di kabinet Presiden Jokowi terkait dengan klaim Cina di Natuna.

Hal yang sama pernah dilakukan Cina di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. “Ketika itu presiden tegas tidak mengakui sembilan garis putus, bahkan menggelar rapat di KRI di perairan Natuna Utara,” Hikamahanto menjelaskan.

Karena itu, menurut Hikmahanto, momen kekurangajaran Cina kali ini seharusnya dimanfaatkan oleh menteri-menteri baru di Kabinet Kerja II untuk solid menjaga sikap Presiden dan kebijakan luar negeri Indonesia terkait Natuna Utara. Kalau perlu, datang ke Natuna dan buat rapat di KRI lagi.

Sikap tegas Indonesia, menurut Hikmahanto, tidak harus dikhawatirkan akan merusak hubungan persahabatan dengan Cina atau merusak iklim investasi.

“Banyak pengalaman negara lain yang memilki sengketa wilayah namun tidak berpengaruh pada hubungan persahabatan dan investasi,” ia menambahkan.

147