
Pembunuhan Jenderal Soleimani menyingkap betapa cerobohnya keputusan Trump. Iran yang marah menuntut balas. Politisi di Washington terbelah antara mendukung dan mengekang Trump.
Lautan manusia berpakaian hitam membanjiri jalan-jalan Teheran, Senin lalu. Mereka menyambut jenazah Letnan Jenderal Qassem Soleimani, yang Jumat pekan lalu terbunuh di Irak. Media lokal menggambarkan jumlah pelayat saat itu setara dengan saat Iran melepas pendiri Republik Iran mendiang Ayatullah Ruhollah Khomeini pada 1989.
Di kejauhan pengeras suara melantangkan doa-doa duka cita. Saat peti jenazah Soleimani dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis –yang juga tewas dalam serangan Jumat di Baghdad—dilewatkan di atas kepala, para pelayat meneriakkan, “Matilah Amerika!”
Dalam prosesi itu, pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei sendiri yang memimpin doa. Tangisnya tak tertahan saat ia mengantarkan sahabatnya itu. Selanjutnya jasad Soleimani disemayamkan di kota asalnya, Kerman, pada hari Selasa, 7 Januari lalu.
Letnan Jenderal Qassem Soleimani terbunuh dalam serangan drone Amerika Serikat. Mobil yang ditumpangi pemimpin Pasukan Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran, Qods Force, diserang pada Jumat pagi, 3 Januari lalu, ketika meninggalkan Bandara Baghdad. Rencanannya, rombongan Soleimani akan bertemu dengan PM Irak Adel Abdul Mahdi.
***
Iran marah. Sehari setelah serangan itu, Masjid Jamarkaran di Qom, Iran, mengibarkan bendera berwarna merah di atas kubah birunya. “Ya Allah, segerakan kemunculan wali Anda,” seru oranrg-orang saat bendera dinaikkan, seperti dilaporkan Washington Examiner, Sabtu, 4 Januari lalu.
Menurut sumber lokal yang dikutip laman itu, bendera yang selama ini disimpan dalam masjid belum pernah dikibarkan. Pengibarannya dianggap sebagai tanda negara itu siap memasuk perang panjang yang keras dan sulit.
Pada hari yang sama, Presiden Iran Hassan Rouhani bertakziah ke keluarga Soleimani sambil berjanji bahwa “semua orang akan membalas dendam”. Janji itu disambut militer Iran dengan rencana untuk menyerang setidaknya 35 target Amerika, termasuk jalur pengiriman minyak di Selat Hormuz yang sangat strategis.
Kemarahan juga terjadi di Baghdad. Massa memenuhi jalan-jalan untuk berteriak mengecam Amerika. Sehari kemudian, kompleks Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad diserang roket. Parlemen Irak yang didominasi Syiah mengeluarkan petisi untuk mengusir semua pasukan asing dari Irak. Mereka tidak mau Irak menjadi medan perang Iran-Amerika Serikat.
“Pemerintah Irak bekerja untuk mengakhiri keberadaan pasukan asing di tanah Irak dan melarang mereka menggunakan tanah, ruang udara atau air dengan alasan apa pun,” kata Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi dalam pembacaan hasil parlemen Irak, seperti dikutip Reuters, Senin, 6 Januari lalu.
***
Keputusan Presiden Donald Trump untuk merestui pembunuhan Soleimani yang sedang menjadi tamu di negara lain dinilai ceroboh dan provokatif. Apalagi, keputusan itu tanpa konsultasi dengan pihak parlemen AS, baik House of Representative maupun Senat. Para pemimpin dan pejabat internasional juga mengecam tindakan itu. Mereka khawatir ketegangan di kawasan itu akan meningkat secara drastis.
Tapi Trump tidak peduli. Dia tetap galak, setidaknya di Twitter. Saat Pemimpin Tertinggi Iran Ali Hosseini Khamenei memperingatkan bahwa “pembalasan keras sedang menunggu”, Trump balas mengancam akan menyerang 52 situs Iran “sangat keras” jika Iran menyerang warga atau aset AS.
Trump bahkan mengincar situs budaya Iran. Beruntung, rencana itu tidak didukung bawahannya. Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan, AS tidak akan melanggar hukum internasional dengan menyerang situs budaya Iran. Jika ini dilaksankana, Trump bisa dianggap sebagai penjahat perang.
Keputusan fatal Trump –yang dibuat di resor Mar-a-Lago, Florida—dinilai akan memicu reaksi berantai yang dikhawatirkan akan berujung pada Perang Dunia III.
Dampaknya dikhawatirkan akan mengganggu pasokan minyak dunia. Kawasan Teluk mengontrol 35% minyak dunia. Terganggunya pasokan akan mengerek harga minyak dunia. Ekonomi global akan mengalami dampak serius.
Serangan itu diperkirakan akan membangkitkan jaringan milisi dukungan Iran di kawasan itu. Seperti diketahui, Iran berhasil membangun menanamkan pengaruh dikawasan itu, mulai Iran, Yaman, Suriah, hingga Lebanon. Bahkan sampai Palestina –keberhasilan yang sedikit-banyak hasil kerja keras Jenderal Soleimani.
Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, pun sampai terbang ke Teheran untuk bertakziyah. Dia menggambarkan Soleimani sebagai Syahid Yerusalem. Sejak pemilihannya pada 2017, baru kali ini Haniyeh bisa keluar dari Gaza. Itu juga setelah Mesir mengizinkannya melakukan perjalanan, dengan syarat ia tidak mengunjungi Iran, seperti dilaporkan media Arab dan Israel.
***
Menurut analis Michelle Goldberg, yang menulis di The New York Times, Selasa, 7 Januari lalu, keputusan itu hasil dari dinamika politik dalam negeri. Ancaman pemakzulan dan upaya Trump meraih hati pemilihnya untuk pemilu mendatang.
Ada pula pengaruh dari politisi Hawkish yang doyan perang. Trump juga dilaporkan kesal dengan gambaran di TV tentang serangan milisi Irak terhadap Kedubes AS di Baghdad. Juga kesal dengan pemberitaan negatif tentang keputusannya membatalkan serangan ke Iran pada tahun lalu.
Bagi Trump dan pendukungnya, aksi pembunuhan itu akan menggetarkan hati Iran dan membuat pemimpinnya menahan diri. Goldberg mengutip Vali Nasr, seorang sarjana Timur Tengah di Universitas Johns Hopkins dan mantan penasihat senior departemen luar negeri Obama, yang menyebut Iran justru semakin yakin untuk membangun kekuatan agar AS.
“Jika Iran tidak melakukan apa-apa, atau tidak memadai, maka Trump akan merasa nyaman dengan perilaku semacam ini dan itu membuat mereka khawatir,” kata Nasr.
Bagi rakyat Iran, AS adalah agresor, membatalkan secara sepihak perjanjian nuklir yang mereka patuhi dan memberikan sanksi ekonomi maksimum.
Nasr menilai Trump sudah gagal di Iran. Sanksi embargo ekonomi untuk melemahkan “Negeri Para Mullah” itu dinilai justru melahirkan Iran yang lebih kuat. “Kebijakan tekanan maksimumnya telah gagal,” kata Nasr tentang kebijakan Trump. “Dia hanya menghasilkan Iran yang lebih berbahaya.”
Pada Minggu, 5 Februari lalu, atau dua hari setelah tewasnya Soleimani, Iran juga memutuskan berhenti mematuhi batas pengayaan uraniumnya sesuai dengan perjanjian nuklir Iran 2015. Ini berarti perjanjian dinegosiasikan oleh Presiden Barack Obama hancur. Iran bisa saja memperkaya uraniumnya hingga level yang cukup untuk membuat hulu ledak nuklir. Kemampuan yang sangat dikhawatirkan Israel. Dan Trump telah melenyapkan kemungkinan Iran untuk kembali ke negosiasi.
Dampak lain, tentara AS tidak lagi diterima di Irak. Pemerintah Irak secara resmi meminta AS menarik pasukannya di negara itu; sesuatu yang sejak lama diinginkan Iran. AS menyatakan belum ada niat untuk menarik diri. Namun sejumlah negara, termasuk Inggris, sudah mengevakuasi warganya dari Irak.
***
Sementara itu, di AS muncul upaya untuk mencegah konflik ini memburuk. House of Representatives yang dikuasai Partai Demokrat menyiapkan resolusi untuk membatasi tindakan militer Presiden Trump mengenai Iran. Pembahasan dan voting akan dilakukan pekan ini.
Dalam sepucuk surat pada sejawatnya, Minggu, 5 Januari lalu, Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan, “Resolusi ini mirip dengan resolusi yang diperkenalkan oleh Senator Tim Kaine di Senat.”
Sebelumnya, senator Demokrat Tim Kaine memperkenalkan resolusi untuk memaksa debat dan pemungutan suara di Kongres untuk mencegah eskalasi permusuhan lebih lanjut dengan Iran.
Menurut Pelosi, langkah-langkah yang diambil akan menegaskan kembali tanggung jawab pengawasan yang telah lama ditetapkan oleh Kongres. Jika tidak ada keputusan Kongres lebih lanjut, maka permusuhan militer dengan Iran akan berhenti dalam waktu 30 hari.
“Sebagai anggota Kongres, tanggung jawab pertama kita adalah menjaga rakyat Amerika tetap aman. Untuk alasan ini, kami khawatir bahwa pemerintah mengambil tindakan ini tanpa berkonsultasi dengan Kongres,” tulisnya seperti dilaporkan laman CNBC.