
Slawi, gatra.net - Bagi anak muda sekarang, menjadi petani bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan. Pendapatan yang kecil dan tidak tidak menentu menjadi salah satu alasannya.
Tapi pandangan itu tak berlaku bagi Mohamad Tarmuji, warga Desa Dukuhwaru, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pria 23 tahun ini justru memilih menjadi petani karena ingin memajukan pertanian di desanya.
Tarmuji bahkan meninggalkan pekerjaannya di salah satu perusahaan sepeda motor besar di Jakarta pada 2017 karena keinginannya itu. Lulusan SMK Bhakti Praja Dukuhwaru ini berhenti bekerja setelah merasakan kondisi di tempatnya bekerja yang menggunakan sistem kontrak dan tidak ada jaminan menjadi karyawan.
"Saya mulai berpikir untuk membuka usaha. Usaha yang selalu dibutuhkan masyarakat untuk hidup, yaitu produk pertanian. Dari situ saya mulai belajar pertanian dan mengamati pertanian kedua orang tua saya yang kebetulan juga seorang petani," ujarnya kepada gatra.net melalui aplikasi percakapan, Rabu (18/12).
Setelah resmi berhenti dari pekerjaan di Jakarta yang sudah dijalaninya sejak lulus sekolah pada 2014, Tarmuji kemudian pulang kampung dengan niat awal untuk membantu orangtuanya yang merupakan petani.
"Saya sering mengamati, kenapa hasil pertanian orangtua saya tidak pernah maju. Hasil produksi atau panennya dijual dengan harga murah," ucapnya.
Sembari belajar dengan mengikuti pelatihan yang digelar balai pertanian, Tarmuji kemudian mulai terjun menjadi petani. Dengan modal minim, anak bungsu dari lima bersaudara itu memulai bertenak cacing Lumbricus rubellus yang digunakan untuk mengolah kotoran hewan untuk dijadikan pupuk. Ia juga menanam padi jenis ketan, dan membeli tiga ekor sapi.
"Hasil menanam padi tidak saya jual dalam bentuk gabah. Tapi sudah jadi beras untuk nilai jual jadi lebih tinggi," ungkap Tarmuji.
Usaha pertanian yang mulai digeluti Tarmuji tersebut tak selalu berjalan mulus. Beberapa kali ia mengalami kegagalan hingga uang tabungan hasil bekerja yang dijadikan modal ludes. Namun itu tak menyurutkan langkah Tarmuji untuk menjadi petani. Hingga akhirnya, hasil produksi pertaniannya mulai menuai keuntungan.
"Alhamdulillah, penghasilan lebih banyak dari gaji saat bekerja di Jakarta dulu dan berpotensi untuk berkembang terus. Saya juga lebih merasakan ketenangan hati yang tidak dimiliki saat bekerja di Jakarta dulu," ujar pemuda kelahiran 24 Juli 1996 itu.
Dalam satu tahun, sebagian keuntungan di antaranya bisa digunakan Tarmuji untuk membeli sepeda motor roda tiga yang digunakan sebagai alat angkut hasil pertanian dan dua ekor sapi. Sebagian lagi disimpan untuk tabungan.
"Setelah melihat semakin banyaknya permintaan produk pertanian yang dibutuhkan, saya semakin bersemangat untuk bertani," ucapnya.
Meski bisa dibilang sudah sukses menjadi petani, Tarmuji tetap merendah dan mengaku masih terus belajar. "Saya petani pemula yang baru terjun ke pertanian dan belum bisa dikatakan sukses," tuturnya.
Tak hanya mulai mendapat hasil dari usaha pertaniannya, peran Tarmuji sebagai petani milenal dalam memajukan pertanian di desanya juga membuatnya terpilih untuk mengikuti program magang dengan Asosiasi Petani Jepang (JAEC) yang diadakan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian.
Bersama 44 pemuda lainnya dari seluruh Indonesia, Tarmuji magang di Jepang selama 11 bulan sejak April 2019. Tarmuji terpilih karena dinilai sosok petani yang berkualitas, andal, produktif, dan berkemampuan manajerial. Tarmuji juga berperan dalam organisasi petani dan pelestarian lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
"Tes untuk mengikuti program magang tersebut sejak 2018. Alhamdulillah semua tahapan lolos dan berangkat ke Jepang April 2019," ungkap Tarmuji.
Di Negeri Sakura, Tarmuji mengaku banyak mendapat pengetahuan dan pengalamanan terkait pertanian. Salah satunya dalam penggunaan alat mesin pertanian (alsintan).
"Petani kita banyak yang masih tradisional. Belum menggunakan alsintan untuk kegiatan pertanian. Di negara-negara maju seperti Jepang, satu orang bisa menggarap lahan 10 hektar sawah dengan bantuan alsintan," ujarnya.
Tarmuji juga belajar tentang etos kerja. Menurutnya, orang Jepang selalu tepat waktu, disiplin, mematuhi aturan, dan ?selalu mengamati hal-hal kecil. "Mereka juga selalu merasa kurang puas dengan pekerjaannya, sehingga mereka selalu bekerja agar lebih baik dan lebih cepat," ujarnya.
Berbekal ilmu dan pengalaman yang didapat di Jepang, Tarmuji mengaku sudah memiliki sejumlah rencana untuk mengembangkan usaha pertaniannya saat pulang ke Tanah Air Februari 2020 mendatang.
"Saat ini karena terbatas modal, lahan pertanian saya masih nyewa. Alhamudillah, sepulang dari sini banyak investor yang ingin bergabung dan mengajak bekerja sama," pungkasnya.