Home Nasional Birokrasi sehat Berbasis Online

Birokrasi sehat Berbasis Online

Layanan publik bisa efektif dan efisien dengan sentuhan teknologi informasi. Sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terbuka mencegah potensi munculnya tindak pidana korupsi.

 

Jakarta, GATRAreview.com - Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi mengungkapkan cita-cita besar mewujudkan pemerintah yang terbuka. Tidak hanya memulai dari hal mendasar, seperti mengubah karakter, mental, dan pola pikir di kalangan birokrasi pemerintah dan badan publik, melainkan juga mereformasi sistem dan pola kerja.

Lahirlah kemudian Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu semangatnya, yang juga menjadi bahasan yang ramai diperbincangkan saat ini, yakni terkait dengan perampingan jabatan birokrasi pemerintahan. Tujuannya tentu agar birokrasi dengan asas terbuka bisa lebih cepat, dan efektif.

Salah satu teknisnya, menurut Presiden, dengan cara menerapkan sistem pemerintahan elektronik atau e-government dari e-budgeting, e-procurement, e-audit, e-catalog, sampai cashflow management system. Melalui sistem pemerintahan elektronik yang terbuka, rakyat bisa mengakses dokumen pemerintah, termasuk anggaran publik. ’’Negara-cepat, akan menguasai negara-lambat. Kita harus merespons. Bisa dilakukan kalau e-government kita terkoneksi dari pusat ke provinsi, sehingga daerah online semua. Pemerintah menjadi sangat efektif,’’ kata Jokowi.

Kualitas Pelayanan Meningkat, Korupsi Disunat

Penerapan e-government yang berbasis penggunaan informasi dan teknologi komunikasi pada prinsipnya bertujuan meningkatkan kualitas proses layanan dari lembaga pemerintah ke masyarakat melalui sistem layanan on line. Manfaatnya sudah jelas: meminimalkan potensi praktik korupsi.

E-government juga mencakup urusan interaksi warga dalam konteks hubungan komunikasi antara pemerintah dan warga. Menurut Presiden Jokowi, teknologi informasi menjadi saluran efektif pemerintah menyediakan berbagai informasi aktual mengenai kebijakan yang akan dan sudah dibuat secara tepat. Masyarakat bisa terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan publik sekaligus membuka ruang lebar bagi pengawasan mandiri. Dengan begitu, pemerintah di semua tingkatan akan membangun legitimasi, memperkuat kepercayaan publik.

Di jantung ibu kota negara, Provinsi DKI Jakarta mengembangkan konsep layanan publik secara digital melalui ’’Jakarta Smart City’’ atau JSC. Sejumlah terobosan dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dengan menggandeng perusahaan startup teknologi dan informasi (TI) yang sudah dikenal kalangan milenial Jakarta, seperti Nodeflux, Botika, DuitHape, Grab, Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Gojek. Kolaborasi ini bertujuan memberikan layanan terbaik bagi warga Jakarta.

Penggunaan teknologi informasi dan inovasi untuk pelayanan publik diyakini bisa menyelesaikan permasalahan. Memahami kebutuhan warga dengan teknologi digital dan inovasi, melalui aplikasi mobile. ’’Pada saat permasalahan Jakarta sudah selesai, kemudian akan menjadikan kota yang maju dan bahagia warganya,’’ kata Kepala Unit Pelayanan (UP) Jakarta Smart City, Yudhistira Nugraha saat berkunjung ke Gatra review. Kemudian, ada ekosistem startup yang dibangun agar ada kolaborasi antara pemerintah dan warga.

(GATRA/Anas Priyo)

Kota lain yang juga mengembangkan layanan publiknya dengan TI adalah Pemerintah Kota Semarang. Sejak menjalankan konsep smart city pada 2013, persoalan anggaran, sumber daya manusia, dan sistem pelaporan bisa teratasi. ’’Pada 2011 sampai 2015, IPM (indeks pembangunan manusia), Kota Semarang masih di bawah kota lainnya seperti Bandung dan Surabaya. Semarang juga kalah dengan Solo dan Salatiga. Smart city akan menjawab percepatan IPM,’’ kata Hendrar Prihadi kepada Ambar Adi Winarso dari Gatra review. Berkat 148 sistem dan aplikasi e-government yang dibangun pada 2015, hasilnya pada 2016 Kota Semarang mampu menyalip IPM kota-kota tersebut dengan nilai 82.72, di atas Bandung yang 81.06, Solo 81.46, Surabaya 81.74, dan Salatiga 82.48.

Smart city di Kota Semarang dikembangkan dengan sistem teknologi informasi dan digitalisasi mampu memangkas birokrasi, pelayanan yang nyaman, cepat, dan tidak bertele-tele. Tagline ’’Bergerak Bersama’’ menyinergikan pemerintah dan swasta. Smart transportation Bus Rapid Trasit (BRT) Trans Semarang, misalnya, menyinergikan swasta dengan pembayaran cashless tiketing bersama GoPay, Ovo, Link Aja, serta kartu-kartu berbasis perbankan seperti Kartu BRT Close Up, Kartu BNI, Kartu BRI, dan lainnya. BRT Trans Semarang mampu menyambungkan transportasi massa dari satu daerah ke daerah lainnya dengan delapan koridor. Jarak tempuh menjadi lebih efektif dan mampu mengurai kemacetan.

Inovasi lainnya ada center control room pantauan armada, batas kecepatan armada, hingga titik shelter, GPS bus juga bisa terlihat pada control room. Aplikasi BRT juga bisa diunduh di Appstore dan Playstore. Beberapa informasi bisa didapat, yakni posisi bus, informasi tentang rute berdasar koridor, kondisi rute lalu lintas koridor, hingga kedatangan bus saat penumpang menunggu di shelter.

Apabila terdapat kemacetan, akan terlihat dari peta lalu lintas yang ada pada peta aplikasi tersebut. Karena itu, smart transportation BRT mendapat penghargaan dari Indonesian Road Safety Award (IRSA) kategori Kota Terbaik Upaya Meningatkan Jumlah Pengguna Angkutan Umum.

Kurang Terkoneksi

(GATRA/Anas Priyo)

Meski banyak pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga mengembangkan aplikasi menunjang layanan publik sejak lama, menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo tidak berjalan efektif. Baginya, kendala e-government ada pada persoalan anggaran. Anggaran membengkak karena tiap kementerian dan lembaga ingin memiliki Pusat Data Informasi (Pusdatin) sendiri. Lantas, tidak terkoneksi satu sama lain. ’’Masing-masing kementerian bikin sendiri, tidak terkoneksi. Terus ngapain e-government? Kan buang-buang duit aja. Pusdatin itu masing-masing punya,’’ Agus menjelaskan kepada Muhammad Almer Sidqi.

Agus pesimistis bahwa kampanye Revolusi industri 4.0 justru tidak terealisasi jika antar-elemen membuat sistem masing- masing tapi tidak terkoneksi dalam satu basis data. Presiden, kata Agus, perlu menunjuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk konektivitas tersebut. Dengan demikian, Agus menambahkan, pemerintah hanya memiliki satu Pusdatin yang berisi semua data dan informasi yang memuat semua data di dalam berbagai lingkup penyelenggara pemerintahan. ’’Kalau namanya e-government berarti semuanya harus terintegrasi. Jadi bikin satu Pusdatin saja,’’ ia menambahkan.

Kelebihan e-government, menurut Agus, berada pada harmonisasi data. Saat ini, sangat sulit untuk bisa mendapatkan data yang valid karena tidak ada interaksi antar-elemen untuk mengharmonisasi dan uji ulang data. ’’Itu kan bentuk komunikasi antar-pemerintah. Kan harus satu bahasanya,” ia menambahkan.

Agus bercerita bahwa dirinya yang bergelut di ranah kebijakan publik sangat kesulitan untuk mendapatkan data yang benar-benar valid. ’’Saya bergelut dengan data untuk membuat policy paper enggak ada yang pernah benar. Banyak data yang tidak sama,’’ katanya.

’’Tinggal pengamanannya bagaimana, untuk pengamanan data e-government ini gampang. Suka dibuat susah karena masing-masing ingin mengambil anggarannya saja,’’ kata Agus.


Sandika Prihatnala

133