
Palembang, gatra.net – Penggiat reforma agraria, Eva Bande mendesak Presiden Joko Widodo membentuk sebuah lembaga nasional, Badan Nasional Reforma Agraria (BNRA) sebagai upaya penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang masih terjadi saat ini.
Hal ini disampaikannya, saat menghadiri simposium Reforma Agraria di Palembang, Sumsel, Senin (9/12). Menurutnya, persoalan (sengketa) agraria sudah sangat mendesak untuk diselesaikan, mengingat tumpang tindih lahan dan konflik penyerta lainnya akan dapat terselesaikan pada tingkatan Presiden.
“Tumpang tindih lahan dan sengketa agraria sudah tidak bisa diselesaikan pada level kebijakan menteri. Pertemuan saya dengan Presiden 2014 lalu menghasilkan sebuah kesepahaman jika perlunya lembaga berbentuk BNRA. Tumpang tindih lahan ini di Indonesia sudah terjadi lama. Sepanjang tidak diambil alih Presiden, saya pesimis pada penyelesian konflik agraria saat ini,” ungkap Eva.
Ia pun menilai Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Keputusan Presiden agar BNRA dapat bekerja langsung di bawah pengawasannya. Meskin kehadiran Peraturan Presiden (Perpres) nomor 86 tahun 2018, mengenai Reforma Agraria, memandatkan adanya kinerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di seluruh tingkat pemerintahan, namun ternyata belum mampu menjawab kebutuhan penyelesaian konflik yang menjadi kebutuhan mendesak masyarakat berkonflik saat ini.
“Konflik yang berjenjang dijawab pemerintah dengan berjenjang pula. Sistem ini akan lama sekali. Harusnya diselesaikan langsung pada tataran pengambil keputusan. Begini jadinya,” ucap Eva.
Berdasarkan datanya, dari 126 juta sertifikat tanah rakyat baru terdistribusi 46 juta. Dengan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) baru sekitar 63% dari 4,65 juta hektar (ha) tanah yang terealisasi. Di sisi lain, Eva menambahkan ambisi pemerintah terkait reforma agraria mencapai 9 juta hektar menggambarkan jika penyelesaian sengketa dan konflik agraria terkesan lamban.
“BNRA akan menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa karena akan diisi oleh orang-orang yang mempunyai integritas dan memahami dinamika konflik di level akar rumput. Masyarakat terdampak konflik sangat menunggu aksi nyata pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria saat ini,” tutup Eva.