
Jakarta, gatra.net - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan bahwa wacana perubahan sistem Pemilu menjadi pemilihan tidak langsung sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Titi menuturkan bahwa Pilkada langsung dan tidak langsung akan memiliki implikasi yang berbeda. Pilkada langsung menawarkan partisipasi politik warga di mana negara berinvestasi untuk memberdayakan hak politik kepada warganya dengan imbal balik seperti tata kelola pemerintahan yang baik karena dikontrol oleh warganya.
"Kemudian pemimpin tidak semena-mena untuk membuat kebijakan, karena mereka tahu kebijakannya akan mendapat pengawasan dari rakyat," kata Titi saat dihubungi gatra.net, Senin (25/11).
Baca Juga: KPU Berharap Akan Tetap Selenggarakan Pemilu Langsung
Wacana untuk meninjau kembali pemilihan secara langsung mencuat ke permukaan. Pihak-pihak elit politik langsung menyambut pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian terkait peninjauan dan evaluasi kembali pemilihan langsung.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arwani Thomafi, misalnya, mengatakan bahwa sangat memungkinkan jika UU Pilkada akan masuk ke Prolegnas prioritas, dan sepenuhnya menerapkan sistem Pemilu secara tidak langsung pada Pilkada 2020 mendatang.
Persoalannya, sambung Titi, evaluasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan, terkesan melompat dan tidak berjenjang. Pendekatannya tidak berorientasi kepada fasilitasi hak rakyat. Dengan demikian, menurut Titi, temuan-temuan evaluasi itu akan didekati dengan penyelesaian yang sifatnya menyerdehanakan permasalahan.
"Apa itu? Ya, sudah, Pilkada-nya tidak langsung saja," singkat Titi.
Baca Juga: Wacana Tambah Masa Jabatan Presiden, Ini Usulan Refly Harun
Titi turut mengakui bahwa pemilihan secara langsung tidak optimal dilaksanakan. Namun, menurutnya, masalah itu bermula dari segi kerangka hukumnya yang keropos. Para pembuat undang-undang selalu menyisakan celah, sehingga tidak dapat menuntaskan persoalan secara utuh.
"Sebagai contoh, pengaturan soal mahar politik. Kita tahu bahwa beberapa kasus di Pilkada 2018, misalnya, ada dugaan mahar politik di Jawa Timur soal angka Rp40 miliar. Namun, itu menguap begitu saja," ujarnya.
Desain regulasi yang keropos akan menyisakan celah dan ruang gelap sehingga penegakan hukum tidak bisa berjalan optimal. "Kalau memang kita ingin sungguh-sungguh ber-Pilkada langsung, maka kemudian kita jangan memberi ruang untuk dilakukan penyimpangan dan manipulasi terhadap proses yang ada," kata Titi.