
Jakarta, gatra.net - Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah bagian dari akal-akalan pemerintah dan petinggi partai politik pendukung pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan.
Dia menyatakan bahwa wacana pilkada tidak langsung merupakan rangkaian dari percobaan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara pembunuhan sistem demokrasi yang ada.
Lucius memberikan contoh seperti adanya wacana Amandemen UUD 1945, mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara serta memperpanjang masa bakti presiden menjadi 3 periode merupakan bagian dari rencana tersebut.
"Tidak berlebihan jika ini agenda untuk mempertahankan kekuasaan dan sebenarnya itu wajar. Tapi sayangnya mereka memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk merubah sistem yang sudah baik demi kepentingan politik. Itu yang saya kira tidak adil," ujarnya saat ditemui wartawan di Kantor Formappi, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Ahad (24/11).
Dia menilai, wacana pilkada tidak langsung ini bukan merupakan agenda dadakan. Terlebih wacana ini sengaja dikeluarkan untuk menguji publik apakah menerima atau menolak agenda tersebut, sama seperti wacana-wacana sebelumnya.
"Jadi ini wacana-wacana yang tidak mungkin muncul begitu saja. Pasti ada desain yang tersistematis dari parpol dan juga pemerintah yang memang punya kepentingan," imbuhnya.
Ditempat yang sama, mantan Komisioner KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay menegaskan, dirinya sama sekali tidak setuju dengan adanya wacana pilkada di DPRD atau tidak langsung. Menurutnya, sistem pilkada langsung sudah final semenjak pertama kali dilakukan pada tahun 2005 lalu.
Hadar tak menampik bahwa sistem pilkada langsung yang digunakan hari ini banyak terjadi persoalan. Kendati demikian, dia menolak jika pilkada harus kembali ke sistem tidak langsung atau melalui DPRD.
"Saya mendukung jika persoalan ini perlu ada evaluasi mendalam, tetapi tidak mengarah pada perubahan sistem pemilihan yang dipakai sekarang," ungkapnya.