
Jakarta, gatra.net - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan wacana tentang masa jabatan presiden yang akan diperpanjang menjadi tiga periode direalisasikan, sama artinya dengan Indonedia negara yang tidak taat konstitusi.
Ia berargumen, di dalam Undang-undang Dasar 1945 sudah jelas tertulis masa jabatan presiden maksimal 2 periode, dengan lama satu periode adalah 5 tahun.
"Menurut saya sangat tidak relevan. Tidak urgen membahas itu. Sebab kita harus taat pada konstitusi. Kalau konstitusi mengatakan dua periode ya sudah itu," ujar dia usai acara Crosschek, di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (24/11).
Baca Juga : MPR Tegaskan Belum Ada Bahasan Jabatan Presiden 3 ...
Dengan argumentasi itu, pemerintah menurutnya harus mengkaji lagi usulan tersebut lebih mendalam. Tentu, dengan melibatkan praktisi dan para ahli di bidang akademik. Baginya perubahan diperbolehkan dan wajar. Tapi, jika diubah sesuai selera maka menjadi masalah. Jika pemerintah ingin melakukan amandemen konstitusi, ia menyarankan bukan pada hal penambahan masa jabatan Presiden.
Ia menilai, dua periode adalah waktu yang pas untuk masa jabatan presiden. Dengan catatan, presiden tidak dipilih secara berturut-turut, melainkan diberikan jeda dalam pemilihannya.
"Sebenarnya dua periode itu sudah bagus. Tapi jangan dipilih berturut-turut. Misalkan sekarang dipilih, periode besok tidak boleh. Baru di periode depannya lagi dia boleh dipilih lagi," jelas Siti.
Hal itu, lanjut dia, perlu dilakukan agar presiden tidak fokus dengan bagaimana cara dia dapat dipilih kembali setelah masa jabatan lima tahun pertamanya berakhir. Namun dapat benar-benar fokus untuk menjalankan program kerjanya selama lima tahun itu.
"Biasanya, di tahun pertama kepemimpinannya, presiden itu selalu mikir, gimana nanti dia bisa dipilih lagi setelah periode pertamanya berakhir. Jadi malah tidak memikirkan program kerjanya," pungkas Siti.