Home Laporan Khusus Politik Dinasti Bisa Menyakiti

Politik Dinasti Bisa Menyakiti

Naiknya anak presiden dan wakil presiden di gelanggang pilkada 2020 menunjukkan belum diusungnya etika politik positif dalam meraih kekuasaan. Bisa menjadi pembenaran bagi praktik politik praktis masa depan. Pemanfaatan kekuasaan di sisa periode bisa berujung beban politik.


Dibukanya bursa pendaftaran bakal calon Wali Kota Tangerang Selatan oleh Partai PDI Perjuangan, September lalu, tak disia-siakan putri Wakil Presiden Maruf Amin, Siti Nur Azizah, untuk ikut berpartisipasi. Melalui timnya, ia pun ikut mengambil formulir pendaftaran di kantor Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan setempat. Ketua Tim Pemenangan Azizah, Deni Charter, menjelaskan bahwa Azizah ikut bursa pendaftaran di PDI Perjuangan karena memang ingin maju lewat partai yang berkelas. “Ibu ingin partai Mercy dan Alphard,” kata Deni.

Selain mendaftar ke PDI Perjuangan, Azizah, yang saat ini tercatat sebagai pegawai di Kementerian Agama, juga sempat mengambil formulir pendaftaran di Kantor DPC Partai Solidaritas Indonesia Tangerang Selatan, 5 Oktober lalu. Bagaimanapun Azizah sudah punya modal kuat untuk maju berlaga. Dan modal politiknya bukan hanya dari sang ayah yang merupakan orang nomor dua di Republik, melainkan juga sang suami, Muhammad Rapsel Ali, yang juga merupakan anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Fraksi Partai NasDem.

Langkah Azizah untuk terjun ke politik menambah panjang daftar keluarga politisi berkuasa yang maju ke ajang pilkada tahun depan. Apalagi saat ini ada Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko Widodo, yang juga sedang berupaya bisa maju melalui PDI Perjuangan. Tentu ini unik, karena keluarga presiden dan wakil presiden berbarengan maju di pilkada. Memperlihatkan suburnya politik dinasti.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menuturkan bahwa soal pencalonan Gibran dan Azizah semuanya terbuka. Siapa saja boleh mendaftar, yang terpenting ikuti peraturan dan mekanisme yang ada di partai. “Siapa saja bisa mendaftar, kita tak bisa menghalangi hal konstitusional seseorang,” katanya. Hasto menegaskan, ada tiga pintu bisa seseorang bisa maju dalam pilkada dengan menggunakan kendaraan PDI Perjuangan. Yaitu, lewat DPC, DPD, dan DPP. Namun nanti yang memutuskan adalah DPP,” Hasto mengungkapkan.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center (SMRC), Djayadi Hanan, menilai dengan munculnya dua anak petinggi negeri, meski itu hak politik setiap orang, bisa memberikan contoh kepada yang lainya dan dianggap tidak masalah memanfaatkan situasi politik. “Terlepas dari apakah presiden dan wakil presiden punya niat apa enggak, tapi fakta menunjukkan mereka membiarkan anak-anaknya untuk maju menjadi kepala daerah,” kata Djayadi selasa lalu.

Menurut Djayadi, kalau menjadi bagian dari keluarga politik itu tidak masalah. Tapi kalau membangun dinasti politik itu soal lain. “Bahkan, meskipun 1.000 kali dibantah bahwa mereka tidak ada niatan membangun dinasti politik, orang tetap akan melihatnya seperti itu,” ucapnya.

Seperti diketahui, persoalan politik dinasti ini sudah marak dalam setiap pemilihan kepala daerah. Djayadi menuturkan ada sebuah penelitian dari sejumlah mahasiswa yang menunjukkan sudah ada gejala meningkatnya politik dinasti di berbagai daerah. “Tapi memang yang terkenal kan di Banten, Sulawesi, dan beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur kemudian di Maluku. Jadi di daerah tersebut fenomena politik dinasti memang cukup menonjol,” ucapnya.

Memang politik dinasti yang paling masif saat ini ada di Banten. Ada dinasti Chasan Sochib (kelompok Rau), ayah dari Ratu Atut Chosiah. Kemudian ada dinasti Dimyati Natakusumah, dinasti Mulyadi Jayabaya, dan dinasti Tb. Aat Syafaat.

Persoalan dinasti ini pun tidak identik ada di satu parpol saja, namun hampir ada di semua partai. Karena itu, orang-orang yang berasal dari keluarga politik, berkecenderungan yang lebih besar untuk menguasai posisi-posisi pemerintahan. Menurut Djayadi, fenomena memanfaatkan kesempatan saat masih berkuasa, untuk melanggengkan kekuasaan keluarga di wilayah banyak terjadi, baik di kepala daerah maupun di legislatif. Apalagi, umumnya ada dua resource penting yang dimiliki oleh orang-orang dari keluarga politik dinasti ini.

Pertama, logistik keuangan. Baik karena dulunya punya jaringan bisnis maupun karena memang mampu mengembangkan sumber-sumber keuangan itu melalui aktivitas penguasaan atas jabatan-jabatan politik, dengan legal maupun ilegal. Kedua, jaringan sosial dan politik yang memungkinkan mereka memiliki jalur-jalur yang cukup untuk memperoleh atau menjangkau pemilih yang ada untuk membuat mereka bisa memegang jabatan-jabatan politik itu.

Bagi Djayadi, mengingat dampak dan persepsi negatif orang terhadap politik dinasti itu, ia berharap sebaiknya anak presiden atau wapres tidak usah ikut pilkada dahulu. Ia beralasan agar bisa menghindari tiga hal krusial. Pertama untuk menjauhkan kesan politik dinasti keluarga.

Kedua, itu kurang baik juga untuk Gibran maupun Siti. Karena sudah pasti akan muncul persepsi memanfaatkan situasi sebagai anak presiden dan wakil presiden. Lalu, kalau nanti menang pun akan dicap negatif, karena mendompleng ayahnya sebagai pemimpin negeri. “Lalu, persoalan ketiga yang juga serius, kalau nanti ada keluarga presiden yang menjadi pejabat politik, seperti wali kota atau bupati. Maka saya khawatir itu akan potensial menjadi beban politik bagi presiden,” kata Djayadi.

Beban politik, ia mencontohkan, jika nanti ada masalah hukum, ujung-ujungnya yang kena presiden juga. “Belum lagi kalau ada orang yang niat jahat lalu men-setup bupati atau wali kota yang merupakan keluarga presiden untuk melakukan kejahatan tertentu misalnya. Jadi itu ada risiko-risiko seperti itu, demikian juga dengan anak wakil presiden,” katanya.


Gandhi Achmad dan Hidayat Adhiningrat P.