
Yogyakarta, gatra.net - Pemerintah Kota Yogyakarta merasa keberatan dengan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenaikan iuran ini berpotensi menyedot Anggaran Pendapatan Belanja Daerah semakin banyak.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi memprediksi, penerapan kebijakan itu akan menyedot APBD sekitar Rp50 miliar sampai Rp70 miliar per tahun. "Itu berarti kenaikan lebih dari dua kali lipat. Bahkan jika dibandingkan dengan zaman Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), bisa lipat lebih dari tiga kali," kata Heroe saat dihubungi, Rabu (30/10).
Heroe menyebut kenaikan iuran itu juga tak sebanding dengan masalah sistem BPJS Kesehatan yang membuat layanan kesehatan belum maksimal. "Tunggakan BPJS ke RSUD semakin besar. Akibatnya Pemkot harus menanggung juga biaya operasional RSUD yang pendapatannya semakin turun," katanya.
Heroe pun menganggap kenaikan iuran itu belum bisa menyelesaikan masalah terkait BPJS Kesehatan. Antara lain banyak rumah sakit tidak sehat kondisi finansialnya karena skema BPJS Kesehatan bermasalah.
"Seharusnya juga memperbaiki pengelolaan BPJS, termasuk dalam pengelolaan pembayaran di rumah sakit. Sistem tarif di rumah sakit harus diperbaiki. Sistem yang sekarang mendorong rumah sakit menurunkan kelasnya. Artinya ini menurunkan kualitas layanannya agar memperoleh pasien," katanya.
Menurut Heroe, masyarakat seharusnya dibiarkan memilih rumah sakit dan dokter sesuai keinginan mereka. Langkah ini akan mendorong rumah sakit dan dokter meningkatkan layanannya.
Iuran program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan naik pada awal 2020. Kenaikan ini setelah Presiden Joko Widodo, Kamis (24/10) menandatangani Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.