Home Laporan Khusus Sinyal Jokowi Terbitkan Perppu

Sinyal Jokowi Terbitkan Perppu

Pakar hukum memberikan tiga opsi untuk menindaklanjuti UU KPK yang sudah telanjur disahkan DPR. Presiden Joko Widodo mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu. KPK menunggu.


Lima pimpinan partai politik pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin malam pekan lalu. Kelima partai tersebut, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai NasDem, PKB, dan PPP, berkumpul untuk membahas kondisi politik terkini. Salah satu isu yang dibahas dalam rapat tersebut, menurut Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani, adalah polemik soal Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan.

Kabarnya, dalam pertemuan tertutup tersebut, kelima pimpinan partai politik menyarankan agar Jokowi tidak langsung menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK.

Revisi Undang-undang KPK yang sudah disahkan DPR pada 17 September lalu tinggal menunggu tanda tangan Jokowi untuk segera berlaku. Masalahnya, hingga kini Jokowi masih belum menekennya, meski juga tidak dengan tegas menyatakan menolak.

Belakangan, pengesahan UU KPK mendapat banyak kritik karena beberapa pasal dianggap melemahkan kerja komisi antirasuah. UU ini pula yang menjadi satu dari sekian banyak aturan yang dipermasalahkan oleh mahasiswa dalam demonstrasi mereka selama sepekan terakhir ini.

Di antara eskalasi demo mahasiswa dan massa yang kian meningkat, Kamis pekan lalu Jokowi kedatangan tamu. Mereka adalah para cendekiawan dan budayawan. Pertemuan itu ikut membahas seputar RKUHP dan Undang-Undang KPK baru yang belum diteken Jokowi.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menawarkan beberapa opsi terkait UU KPK. Opsi pertama adalah legislative review. Artinya, UU ini disahkan kemudian dibahas pada periode berikutnya atau merevisi kembali UU yang disahkan. “Kan biasa terjadi revisi Undang-Undang yang sudah disahkan,” kata Mahfud usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta.

Pilihan kedua, judicial review, yakni mengajukan pengujian pasal-pasal ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian untuk opsi terakhir yang ditawarkan adalah Presiden menerbitkan Perppu. Kata Mahfud, kewenangan menelurkan Perppu adalah hak presiden. Urgensi penerbitannya juga hak subjektif presiden. “Menurut hukum tata negara tidak bisa diukur apa genting itu. Presiden mengatakan ‘oh keadaan masyarakat dan negara begini, saya harus ambil tindakan’, itu bisa,” ujarnya.

Usulan ini tak lantas diterima, tetapi Jokowi mengatakan dirinya akan menjadikan masukan tersebut dalam pertimbangannya. Utamanya memang masukan itu berupa penerbitan Perppu. “Tentu saja ini akan kita segera hitung, kalkulasi,” kata Jokowi usai pertemuan.

***

perppu
Infografis PERPPU (GATRA/ft)

Jika benar sinyal Jokowi akan mengeluarkan Perppu tentang KPK, tampaknya hal ini tidak akan mudah. Utamanya karena pihak DPR dan partai politik sudah sejak awal menunjukkan resistensinya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengatakan partainya berpegang pada prinsip bahwa revisi UU KPK adalah hasil kesepakatan DPR bersama pemerintah yang sudah diterima dan disahkan.

“Artinya, undang-undang itu dilaksanakan dulu baru dievaluasi dan diubah kalau memang efeknya negatif,” kata Hasto kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.

Terlebih, Hasto menambahkan, ketika Presiden Jokowi dan seluruh partai politik di DPR sudah sepakat untuk melakukan revisi, maka mengubah undang-undang dengan Perppu sebelum Undang-Undang tersebut dijalankan adalah sikap yang kurang tepat.

Kolega Hasto di PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan saat ini sudah ada gugatan ke MK yang dilakukan sekelompok masyarakat terkait dengan Revisi Undang-Undang KPK. Dengan adanya gugatan tersebut, Masinton menilai Perppu yang sedang dipertimbangkan oleh presiden saat ini sudah tidak lagi relevan.

Ketua YLBHI, Asfinawati, mengaku tidak heran atas penolakan penerbitan Perppu oleh pihak DPR dan partai politik. Ia menyayangkan sikap DPR semacam itu yang menurutnya gagal menangkap aspirasi rakyat. Padahal, Undang-Undang adalah produk politik. “Saya setuju dengan Mahfud MD bahwa yang paling ideal adalah legislative review. Karena DPR yang membuat, dia pula yang bisa mencabut,” kata Asfin saat ditemui Muhammad Almer Sidqi dari GATRA.

Asfin juga mengingatkan agar DPR bisa lebih responsif. Aksi massa yang menyebar secara masif dan paralel belakangan, katanya, bukanlah gerakan yang biasa. “Sinyal yang paling baik adalah mereka (DPR) membikin proses legislasi untuk mengubah itu. Judicial review adalah jalan terakhir,” ucapnya.

Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui juru bicaranya, Febri Diansyah, mengatakan bahwa dari awal pihaknya sudah mengingatkan agar Presiden mendengar dari banyak pihak. KPK juga sebelumnya berharap bisa memberikan masukan pada DPR. Hal ini karena ternyata, setelah undang-undang itu disahkan, mereka mengidentifikasi bahwa ada 26 poin masalah pada UU tersebut.

Jika 26 poin tersebut dibiarkan tanpa tindak lanjut, kata Febri, ada risiko pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. “Jadi kalau misalnya presiden memutuskan melakukan tindakan penyelamatan terhadap korupsi dengan menerbitkan [Perppu] atau tindakan-tindakan yang lain posisi kita saat ini lebih pada menunggu saja,” kata Febri kepada Wahyu Wahid Anshory dari GATRA.


Hidayat Adhiningrat P. dan Putri Kartika Utami