

Upaya restorasi lahan gambut berjalan sangat lambat dibandingkan dengan percepatan kerusakan hutan. Separuh lahan gambut Indonesia rentan terbakar.
Hujan yang ditunggu-tunggu akhirnya membasahi Pekanbaru pada Senin sore awal pekan ini. Meski sebentar, hujan menjadi berkah. Hujan membersihkan udara kota terbesar di provinsi Riau itu yang tercemar jerubu dari lahan gambut yang membara.
Menurut data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), konsentrasi debu polutan PM10 (partikel udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron) di Pekanbaru pada Minggu, 22 September lalu, mencapai 415 mikrogram/m?. Keesokan harinya konsentrasi debu polutan naik hingga mencapai 458,18 mikrogram/m? atau dalam kategori berbahaya. Padahal, batas konsentrasi PM10 yang diperbolehkan berada dalam udara 150 mikrogram/m?.
Setelah hujan reda, konsentrasi terus turun hingga level 97 mikrogram/m? pada pukul 13.00. Terbukti, hujan menjadi berkah dalam upaya pemadaman kebakaran lahan gambut yang meluas di Riau dan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Luasnya lahan yang terbakar memang sulit untuk dikendalikan hanya dengan peralatan manusia.
Menurut data yang dirilis Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) hingga 24 September lalu, luas lahan yang terbakar 328.724 hektare dengan 1.982 titik api. Ada enam provinsi yang mengalami kebakaran hebat. Seluruhnya provinsi yang kaya lahan gambut. Selain Riau, juga Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Yang terjadi tahun ini mirip dengan bencana kebakaran hutan dan lahan yang sangat masif pada 2015. Kebakaran yang asapnya sampai mengganggu negara-negara tetangga itu kemudian melahirkan Badan Restorasi Gambut (BRG), lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Lembaga ini bertugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Tiga program besarnya adalah pembasahan, penanaman kembali, dan revitalisasi mata pencaharian lahan gambut.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) yang diterbitkan pada 6 Januari 2016 mengamanatkan, restorasi lahan gambut seluas 2 juta hektare hingga 2020. Dalam perjalananya, target itu naik sampai 2,67 juta hektare.
Target 2,67 juta hektare terdiri dari 1,7 juta ha lahan konsesi dan 900.000 hektare lahan lainnya. Penangannya berbeda. Lahan konsesi tanggung jawab perusahaan yang memanfaatkan lahan itu. Jumlah ini terdiri dari 1,2 juta hektare tanaman industri dan 500.000 hektare hak guna usaha perkebunan. Alokasi 1,2 juta hektare itu kewenangan KLHK dan Kementan, BRG ikut membantu. Sisanya seluas 500.000 hektare yang berupa perkebunan, BRG sudah melakukan restorasi seluas 60%.
Sementara itu, lahan lainnya seluas 900.000 hektare terdiri dari 688.000 hektare hutan lindung dan lahan tanpa izin plus sekitar 200.000 hektare lahan konservasi. BRG sudah membasahi 70% di antaranya, atau sekitar 679.000 hektare. Total lahan gambut yang berhasil direstorasi hingga 2019 sekitar 900.000 hektare.
“Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia. Memang lebih dari setengah sudah dibuka dan dikeringkan, sehingga risiko kebakaran juga tinggi. Dan kalau gambut terbakar, memadamkannya sulit sebab bahan bakarnya tanah,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, kepada M. Egi Fadliansyah dari GATRA.
Menurut Nazir, faktor manusia masih menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) gambut. Lahan gambut yang terbuka sangat mudah kering. Tidak disiram hujan selama tiga bulan saja sudah membuatnya kering dan rentan terbakar. Namun, meski rentan terbakar, sangat jarang lahan gambut terbakar sendiri. Justru 99% manusia yang membakar.
“Jadi, saya sih fokuskan dibakarnya oleh pemodal. Kalau masyarakat, paling buka ladang, jadi hanya kecil-kecil dan mudah dipadamkan. Yang bahaya pemilik modal yang bakar,” ujar Nazir.
Pencegahan kebakaran gambut selama ini dilakukan dengan metode sekat kanal, agar air dapat terkumpul dan dapat membasahi lahan gambut. Namun, diakui Nazir, di beberapa lokasi BRG tidak “menutupnya” secara kencang karena mempertimbangkan ancaman banjir pada saat musim hujan. Banjir akan merusak tanaman yang dibudidayakan warga.
Di samping itu, BRG terus memantau kondisi muka air tanah dengan alat khusus yang ditanam di lahan gambut. Alat itu secara berkala dalam hitungan jam melakukan pemutakhiran dan mengirim datanya ke server. Data-data itu kemudian diolah untuk mendeteksi tingkat kebasahan dan kekeringan lahan gambut.
“Kita lihat juga data curah hujan dan setiap dua minggu sekali dilaporkan ke gubernur. Kita ingin tata kelola air dapat mengantisipasi kebakaran sekaligus menjadi manfaat untuk petani,” Nazir menambahkan.
***

Di daerah-daerah prioritas BRG memiliki kepanjangan tangan, yaitu Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD). Salah satunya adalah TRGD Riau yang sempat disambangi wartawan GATRA Abdul Azis di Pekanbaru. Hari itu, kantor yang terletak di Jalan Borobudur sepi dari aktivitas. Kantor hanya dihuni seorang petugas yang menolak memberikan keterangan tanpa izin dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Ervin Rizaldi.
Menurut mantan Sekretaris Daerah Provinsi Riau yang juga mantan Ketua TGRD Riau, Ahmad Hijazi, TRGD itu hanya instansi yang kehadirannya dipaksakan di daerah. Itu sebabnya, nyaris tidak ada capaian menggembirakan yang dapat disuguhkan TRGD untuk memulihkan lahan gambut di Riau. “Kalaupun ada progress, itu hasil garapan langsung BRG melalui anggaran negara,” kata Hijazi.
Efektivitas kerja TRGD tidak optimal karena tim ini tidak dibekali mata anggaran yang cukup. Ada sekitar 1 juta hektare lahan gambut di Riau yang musti direstorasi. “Pertanyaanya, sejauh mana BRG bisa melakukan intervensi kalau anggaran hanya berkisar Rp200 miliar sampai Rp300 miliar,” ujar Hijazi.
Hijazi menyarankan, perubahan format TRGD menjadi instansi yang melembaga di daerah. Cara seperti itu memungkinkan jika disokong oleh dana daerah untuk keperluan restorasi gambut berdasarkan teritorial.
Luasan areal gambut yang menunggu upaya pemulihan di Riau mencapai 900.000 hektare. Dari luasan itu, tanggung jawab utuh BRG hanya sekitar 109.000 hektare. Sisanya, .000 hektare adalah lahan gambut di kawasan hutan tanaman industri (HTI) dan 200.000 hektare di areal pemilik hak guna usaha (HGU).
Senada dengan Hijazi, pengamat lingkungan hidup Elfiriadi menyebut formasi TRGD sudah menimbulkan keraguan dalam hal efektivitas kerja. Sebab orang-orang yang ada di dalam tim adalah para pejabat yang sudah disibukan oleh urusan pekerjaan daerah.
Selain menilai kerja TRGD yang tidak jelas, Elfiriadi juga menyebut prosedur kerja lembaga ini berbelit belit dan padat birokrasi. “Fungsi kerjanya belum diketahui dengan jelas, apakah sekadar memberikan penyuluhan, membangun sekat kanal atau pengadaan sumur bor,” ujarnya.
Dengan begitu banyaknya persoalan di tingkat pusat dan daerah, tampaknya realisasi restorasi gambut di negeri ini masih butuh waktu panjang
Rosyid, Abdul Aziz, dan Febri Kurnia (Pekanbaru)
Infografis: Kondisi Hidrologi Gambut
a. Gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.(Mutalib et al, 1991)
b. Kadar air yang tinggi menyebabkan kerapatan bahan menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al,1997; Widjaja-Adhi, 1997).
c. Tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik (hydrophobic). Gambut yang telah mengering, dengan kadar air kurang dari 100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering(Widjaja-Adhi, 1988).
d. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali. Dalam keadaan ekstrem ini, bara api pada tanah gambut dapat bertahan berminggu minggu.
e. Gambut tropis Indonesia mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas.serta mempunyai nilai ekologi tinggi. Dari sekitar 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, sekitar 13-15% (sekitar 35.000-40.000 spesies) terdapat di kawasan ekosistem gambut Indonesia (Osaki, et al, 2016).
f. Secara global, lahan gambut Indonesia menempati posisi keempat sebagai lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat. Indonesia memiliki lahan gambut seluas 20 juta ha, Kanada 170 juta hektare, Rusia 150 juta hektare, dan Amerika Serikat 40 juta hektare (Agus dan Subiksa, 2008).
Sumber: Renstra BRG 2016 --2020