
Jakarta, gatra.net- Sidang sengketa perdata Alia Febyani yg merupakan istri dari Jumhur Hidayat, aktivis senior dan juga mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan PT Elite Prima Hutama (EPH) (Pakuwon Group) digelar pada Selasa (1/9), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Agenda sidang berupa jawaban sekaligus selingan eksepsi dari tergugat, yang merupakan pengembang Apartemen Casa Grande Residence, Casablanca, Menteng, Jakarta Selatan.
PT EPH yang diwakili kuasa hukum yakni Ai Siti Fatimah dan Sandra Marlen mengatakan, kompetensi bersifat absolut. Pihak pengacara dari lini usaha Pakuwon Group ini menilai PN Jaksel tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut.
Pihak kuasa hukum Alia, Geraldy Sinaga berjanji akan menjawab argumentasi tergugat melalui sidang pembacaan replik yang diagendakan pada 8 Oktober mendatang. "Jawaban dari gugatan kita nanti akan kita jawab di replik, sidang minggu depan tanggal 8 Oktober," kata Geraldy, saat usai sidang.
Meski begitu, ia menegaskan adanya dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh PT EPH. Terutama pada klausula baku yang dibuat pengembang, yang disinyalir melanggar hukum. Kita menitikberatkan pada PMH PT Elite, kalau menjelaskan argumentasi ini, itu bahasa mereka. Tapi kita ada klausula baku, yang dipakai melawan hukum, dan itu perbuatan melawan hukum," ujarnya melalui rilis yang diterima gatra.net.
Kami juga menitikberatkan pada perbuatan melawan hukum PT EPH, tidak hanya dari konteks perjanjiannya saja. "Lebih lanjut pihaknya berharap majelis hakim yang dipimpin hakim ketua R Iim Nurohim, bisa memutus perkara ini secara adil," ungkap Geraldy.
"Hakim bisa memutus seadilnya, dan melindungi kami sebagai konsumen," ungkap Advokat dari Law Office ARPM & Co ini.
Sebelumnya, PT EPH digugat Alia lantaran merasa dirugikan karena surat Akta Jual Beli (AJB) dua unit apartemen yang dibeli tak kunjung diberikan oleh pengembang tersebut. Akibatnya, Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS) atas unit apartemen yang dibeli sejak 2012 itu, tak juga dimiliki hingga kini. Padahal, pengembang berjanji memberikan sertifikat itu selama 36 bulan setelah serah-terima unit.
Kondisi ini diakui Alia merugikannya, karena sewaktu salah satu unit dijual, ia tak mendapat keuntungan, tapi justru sebaliknya. Ia merugi hingga Rp Rp1.095.000.000, kala menjual apartemen tanpa AJB dan SHMSRS. Padahal sewaktu ditawarkan pengembang, ia mengaku dijanjikan bakal mendapat keuntungan dari investasi dengan membeli unit apartemen itu.