
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memberlakukan skema perampasan keuntungan pada perusahaan yang menjadi tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tak hanya itu, KLHK juga akan menerapkan kurungan penjara serta pencabutan izin perusahaan. Hal ini dilakukan untuk memperbesar efek jera atas banyaknya insiden pembakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di beberapa wilayah di Indonesia.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, meyakini bahwa penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara untuk mengubah perilaku manusia dan korporasi. Sebab, banyak pihak yang melakukan pembakaran lahan hanya dengan tujuan mencari keuntungan semata.
Untuk mengetahui skema dan tindakan yang dilakukan KLHK atas perusahaan-perusahaan terduga pelaku pembakaran lahan, wartawan GATRA Ane mewawancarai pria yang akrab disapa Roy ini dalam dua kali kesempatan. Berikut kutipannya:
Benarkah saat ini ada 52 perusahaan yang disegel akibat lahannya terbakar?
Sedang kita dalami. Sekarang baru menyegel, dari bulan Agustus, di mana hingga saat ini berjumlah 52 perusahaan. Tujuan penyegelan ini merupakan langkah hukum pertama untuk berikan efek kepada korporasi, melakukan penegakkan hukum dan memastikan proses ini sejalan dengan semestinya.
Sebelumnya disebut bahwa oknum tersangka karhutla ini disembunyikan?
Saya tidak mengetahui hal tersebut dan siapa yang menyembunyikan, dan yang terpenting siapa itu yang bilang?
Katanya ada perusahaan dari Singapura dan Malaysia juga?
Bukan saya yang pegang datanya, tapi kami sampaikan bahwa ada 14 perusahaan asing dari Singapura dan Malaysia. Dari 52 perusahaan, 14 di antaranya asing. Bagi kami, tidak peduli itu asing atau lokal, apabila dia yang sebabkan karhutla maka menjadi tersangka dan subjek hukum.
Apakah akan ada penambahan jumlah perusahaan yang menjadi tersangka dan disegel?
Apabila kita melihat perusahaan tersebut tidak patuh pada kewajiban terkait dengan penanggulangan dan pencegahan karhutla, akan kami kenakan sanksi hingga pembekuan dan pencabutan izin.
Langkah selanjutnya untuk korporasi yang lahannya terbakar bagaimana? Pencabutan izin?
Saat ini kami anggap perlu melakukan upaya yang lebih intensif lagi berkaitan dengan penegakan hukum. Sudah ada langkah-langkah yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama kepolisian juga.
Kementerian lingkungan dan Kehutanan sudah melakukan sanksi administratif, langkah perdata dan pidana. Begitu pula dengan teman-teman kepolisian juga melakukan penegakan hukum. Namun kami perlu melihat, agar lebih bisa menimbulkan efek jera yang lebih keras lagi dan juga memperluas cakupan penindakan ini, kami perlu melibatkan pemerintah daerah khususnya berkaitan dengan izin-izin yang diberikan dan berkaitan dengan upaya pengawasan atas izin tersebut.
Bagaimana proses uang ganti rugi oleh perusahaan?
Proses eksekusi ini adalah tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung. Yang berwenang melakukan eksekusi itu adalah ketua pengadilan negeri. Sekarang kami sedang mendorong ketua pengadilan negeri untuk melakukan proses eksekusi ini dengan meminta uang ganti rugi dari perusahaan sejak 2015 sebesar Rp18,9 triliun.
Perlukah dibuat pasal ekosida (kejahatan lingkungan)?
Kalau berkaitan dengan undang-undang, aturan yang berkaitan dengan karhutla sudah cukup. Dan sekarang kami bertugas mengimplementasikan pasal dalam undang-undang tersebut, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 dan UU Nomor 41 Tahun 1999. Kami sekarang sedang berupaya memperkuat efek jera melalui sanksi administratif, perdata, dan pidana.
Bahkan kami juga sedang memikirkan efek jera dengan merampas keuntungan karena sering kali perusahaan ini membuka lahan dengan dibakar sebab biaya murah tapi keuntungan yang didapat sangat banyak. Kami sekarang sedang berbicara dengan BPPT untuk melacak lokasi perusahaan yang selalu sebabkan karhutla dengan menggunakan bukti forensik.
Sudah berapa banyak perusahaan yang telah “dirampas” keuntungannya?
Ini baru rencana untuk penerapan hukum kepada perusahaan dan terus melakukan terobosan baru dan inovasi untuk penegakkan hukum. Pada 2015 lalu, kita menggunakan tanggung jawab mutlak dan sekarang kepada pidananya. Kami terus memperkuat hukum administratif, perdata, dan pidananya.
Perusahaan diwajibkan untuk memiliki sarana dan prasarana (sarpras) penanganan ataupun pencegahan karhutla. Bagaimana tingkat kepatuhannya?
Hasil pemantauan kami, banyak perusahaan tidak patuh. Saya lupa persentasenya, ada yang punya sarpras-nya tapi tidak memadai, ada yang tidak punya sama sekali, ada yang punya tapi minim standarnya, dan terakhir SDM-nya tidak memadai serta bisa jadi juga ada perusahaan yang tidak melapor. Kami sedang melakukan pengawasan dan bila ditemukan di lahannya terbakar dan kita selidiki lalu dia tidak memiliki sarpras dan tidak aktif memadamkan, dan pernah terjadi sebelumnya, maka akan kita kenakan sanksi administratifnya.