
Palembang, gatra.net – Peringatan hari tani yang berlangsung setiap 24 September, menjadi evaluasi pencapaian reforma agraria di Sumatera Selatan (Sumsel). Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai pelaksanaan gugus reforma agraria tidak berjalan.
Korwil KPA Sumsel, Untung Saputra mengatakan pihaknya juga mempertanyakan upaya reformasi agraria yang sempat dijanjikan oleh Gubernur Sumsel, Herman Deru. Pada awal pembahasan juga, KPA tidak menjadi bagian utuh. “Dari tahun 2018 lalu, belum ada kemajuan yang kita ketahui, bahkan langkah-langkah pembahasan gugus tugas (satuan tugas) juga tidak ada kemajuan,” ujarnya saat konfrensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel Menolak UU Pertahananan di sekretariat Walhi Sumsel, Selasa (24/9).
Penguasaan akses lahan yang dimiliki oleh masyarakat petani Sumsel sangat rendah. Dari 9 juta lahan di Sumsel, 7 juta diantaranya sudah dikuasai oleh korporasi (perusahaan) dan 1 juta menjadi kawasan hingga sisanya 1 juta barulah dimiliki oleh masyarakat tani. Kondisi seperti ini, akan memicu konflik lahan yang berkelanjutan. “Penyelesaiannya ialah pelaksanaan reforma agraria,”ungkap dia.
Pemerintah daerah dapat melakukan upaya merevisi izin-izin perusahaan dan kawasan, sekaligus penataan kawasan hutan yang berkonflik. Dengan memberikan hak akses lahan kepada masyarakat, akan menekan konflik yang selama ini masih terjadi. “Aset reforma agraria itu, ada dua, yakni penataan ulang, dan peningkatan produksi lahan. Penataan ulang itu tadi, penguasaan akan akses lahan sedangkan peningkatan produksi bagaimana agar profesi petani menjadi profesi yang makin dipilih oleh generasi muda,” terangnya.
Untungpun menkritik program sertifikasi yang dijalankan pemerintahan Jokowi tidak menyentuh akar permasalahan diantaranya konflik lahan. Beberapa contoh desa berkonflik lahan di Sumsel yang belum juga menemukan penyelesaian, seperti Desa Nusantara dan konflik lahan di PTPN VII.
Dengan belum berjalannya gugus reforma agraria, maka pemerintah daerah tentu belum berhasil membuat kebijakan lokal yang pro terhadap petani.
Lebih banyak, kata Untung, program pemerintah ialah turunan dari program pemerintah pusat, seperti halnya kementrian pertanian. Pemerintah daerah seolah menjadi pelaksanaan program yang sebenarnya sudah semestinya dilaksanakan pemerintah, “Petani ingin agar program-program lebih lokal, misalnya bagaimana mengatasi harga karet dan sawit yang jatuh. Hampir sebagian besar, petani di Sumsel ialah petani karet dengan luasan besar, namun harga masih sangat tergantung pada pasar global,” terangnya.
Ketergantungan harga pada pasar global, akan membuat petani termasuk perekonomian daerah makin tergantung pada kekuatan ekonomi luar negeri. “Dari 3 juta ton produksi karet di Indonesia, hampir 1 juta ton dialah produksi karet rakyat Sumsel,”pungkasnya.