
Tantangan ekonomi global lima tahun mendatang makin sengit. Presiden Jokowi harus meracik formula kabinet ekonomi yang lebih menggigit demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Seperti apa postur ideal kabinet ekonomi mendatang?
Jakarta, GATRAreview.com - Pesta demokrasi Pilpres 2019 usai sudah. Kini tibalah masanya bagi-bagi kursi menteri untuk pembentukan kabinet baru dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf 2019–2024. Sebagai pemenang pemilu 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun meminta jatah kursi menteri lebih banyak ketimbang partai lainnya. Tak tanggung-tanggung, desakan ini disampaikan langsung sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri, pada Kongres PDI Perjuangan di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
Sikap yang diambil Partai Nasional Demokrat (NasDem) berbeda, masih malu-malu menyodorkan nama calon menteri, setidaknya hingga akhir Agustus ini. Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai NasDem, Jhonny G Plate mengatakan bahwa pihaknya yakin Jokowi akan mengambil keputusan tepat dalam pembentukan kabinet. “Kita serahkan semua pada Presiden. Itu semua hak prerogatifnya. Kita hanya mengawal dan mendukung. Presiden pasti tahu betul siapa yang pantas mengisi kabinetnya untuk dapat merealisasikan program pemerintah,” ujar Jhonny kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA Review.
Jika Jokowi mengakomodir partai koalisi, kira-kira berapa porsinya di kabinet mendatang? Secara spesifik, Jokowi menyatakan, komposisi menteri dari partai politik memiliki porsi sedikit lebih kecil ketimbang kalangan profesional. “Partai politik bisa mengusulkan, tetapi keputusan tetap di tangan saya. Komposisinya 45%,” kata Jokowi saat bertemu pemimpin media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, pertengahan Agustus. Walhasil, ini menunjukkan sinyal bahwa pada susunan kabinet mendatang, porsi profesional sebanyak 55% dan partai politik 45%.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, menyarankan agar perolehan kursi di kabinet sebaiknya dilakukan berdasarkan persentase jumlah kursi di DPR. Hal ini agar pemerintah mendatang berjalan efektif karena mendapat dukungan dari parlemen. “Yang paling penting, sejauh mana [kabinet] bisa mengompensasi [menjamin] partai koalisi di DPR untuk bisa menyepakati keputusan pemerintahan,” ujarnya pada Novrizal dari GATRA Review.
Wakil Sekjen Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno, atau yang biasa dikenal Dave Laksono, setuju agar jumlah menteri di kabinet proporsional dengan jumlah kursi parpol di DPR. Ia tidak mempermasalahkan jika skema 55% dari profesional dan 45% dari partai. “Ya, kan mungkin juga ada irisan-irisan begitu. Jadi walaupun profesional, tetapi ada berafiliasi dengan parpol-parpol tertentu. Walaupun porsinya 55%–45%, tetapi bisa diklaim lah, sosok tersebut dari partai mana, kan,” ujar putra mantan Ketum Golkar Agung Laksono ini kepada wartawan GATRA Review Muhammad Guruh.
Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menilai bahwa Presiden Jokowi akan mencari titik kompromi dengan partai-partai koalisi untuk menentukan postur kabinet lima tahun ke depan. Arya melihat porsi 55% atau sekitar 19 kursi yang dijanjikan untuk kalangan profesional tergantung negosiasi dengan partai-partai pendukung pemerintahan. Menurutnya akan sulit bagi Jokowi merealisasikan keinginannya tersebut. “Lima puluh lima persen, menurut saya angka yang maksimal. Itu pun kalau Jokowi benar-benar merealisasikannya,” ujarnya kepada wartawan GATRA Review, Muhammad Affandi.
Tantangan Ekonomi Global Makin Berat
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, tantangan ekonomi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf makin berat pada periode kedua kepemimpinannya. Menurut Bhima, ada empat tugas utama Jokowi di periode keduanya. Pertama, menjaga stabilitas makro ekonomi, baik meningkatkan kinerja nilai tukar rupiah, menekan inflasi, maupun menurunkan defisit neraca transaksi berjalan. Kedua, meningkatkan ekspor di tengah perang dagang yang masih terus berlanjut.
“Ketiga, menyeleksi dan mengevaluasi pembangunan infrastruktur mana yang berdampak positif. Mana yang menjadi beban APBN, harus dipangkas, serta keempat, yakni memenuhi janji kampanye, khususnya program kartu sakti. Di tengah rasio pajak yang rendah dan pemasukan negara terancam fluktuasi harga komoditas,” ujar Bhima di kantor Redaksi GATRA Review.
Selain itu, perlu diwaspadai tantangan eksternal berupa ketidakpastian global akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Cina, serta resesi ekonomi di Eropa dan kondisi terbaru di Asia Timur. Itu semua ikut membayangi ekonomi Indonesia lima tahun ke depan.
Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denny Puspa Purbasari, mengatakan bahwa pemerintah tetap optimistis roda perekonomian ke depan bergerak positif. Denny menyatakan ketidakpastian global mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi struktural dan reformasi ekonomi. “Kalau kondisi ekonomi nasional kuat, fit, dan sehat, dampak ketidakpastian global tidak akan terasa,” kata Denny kepada GATRA Review.
Dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020, pemerintah Jokowi mematok pertumbuhan ekonomi 5,3% yang dianggap sebagian pengamat terlalu percaya diri. Hal ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini (1999–2018) menunjukkan angka stagnan, yaitu 5,27% year-on-year (yoy). Secara pertumbuhan ekonomi, untuk keluar dari “jebakan negara berpendapatan menengah”, pertumbuhan ekonomi harus mencapai 7%.
Postur Kabinet Ekonomi yang Ideal
Tantangan yang cukup besar terhadap kinerja ekonomi ke depan, membuat para pelaku bisnis cenderung memilih menteri bidang ekonomi dari para kalangan profesional. Pengamat Arya Fernandes menyatakan, kabinet di bidang perekonomian harus diisi kalangan profesional, karena tantangan domestiknya ada di bidang ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan di angka 5%, kemudian terjadi sejumlah defisit dalam neraca berjalan.
Menurut Arya, pemerintah butuh orang-orang profesional untuk menjalankan kebijakan ekonomi lima tahun ke depan. “Di kementerian perekonomian, sebaiknya diisi oleh orang yang profesional, sehingga kebijakan ekonomi tidak terjadi konflik kepentingan dengan politik partai,” katanya.
Senada dengan Arya, Bhima Yudhistira berpendapat sebaiknya semua menteri bidang ekonomi idealnya berasal dari kalangan profesional. Malah, ia memberi gambaran sosok yang diperlukan untuk memimpin Kementerian Keuangan, yaitu orang yang cakap mengelola APBN. Menurutnya, diperlukan sosok Menteri Keuangan yang paham kebijakan fiskal dan prudent atau hati-hati menjaga keseimbangan APBN, artinya menjaga defisit dan keseimbangan primer APBN.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Rosan Roeslani, mengatakan bahwa sosok yang cocok untuk mengisi orang nomor satu di Kementerian Keuangan, yaitu individu yang mampu bersinergi dengan kalangan dunia usaha. Selain itu, Rosan berharap sosok Menteri BUMN di periode kedua Jokowi-Ma’ruf nanti mampu memprioritaskan swasta. Menurutnya, hal itu sejalan dengan arahan Presiden Jokowi yang ingin peran swasta dalam hal pembangunan perekonomian nasional lebih besar dibandingkan BUMN.
Urgensi Kementerian Baru
Tak hanya porsi anggota kabinet, Jokowi juga sudah ancang-ancang akan merombak struktur kementerian yang ada. Dalam pertemuan dengan pemimpin media massa, 14 Agustus 2019 di Jakarta, Presiden Jokowi mengatakan akan membentuk dua kementerian baru, yakni Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Investasi. Menurutnya, hal ini sebagai respons pemerintah atas perkembangan dunia yang begitu cepat. Lebih lanjut, ia menyatakan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dipindahkan dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Luar Negeri agar lebih efektif mengelola kegiatan ekspor.
Menurut Deputi III Kantor Staf Presiden, Denny Puspa Purbasari, perubahan nomenklatur kementerian tersebut sangat memungkinkan. Saat ini, pemerintah sedang menggodok rencana tersebut untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 5,3%. Menurutnya, pemerintah juga terus melakukan penataan kelembagaan terkait ekspor dan investasi. “Pak Jokowi menginginkan akselerasi dan eksekusi ekspor dan investasi melesat lebih cepat. Beliau sangat paham, untuk tumbuh perlu ekspor dan investasi, secara teori dan empirik memang demikian,” ujar Denny.
Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu mendukung rencana pemerintah tersebut. Mari menyatakan, persoalan digital sangat kompleks, sehingga penting bagi pemerintah membuat lembaga khusus yang memayungi perkembangan digital. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi digital sangat krusial untuk mendongkrak perekonomian karena menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Dudun Parwanto dan Abdul Rozak