
Jakarta, gatra.net - Rancangan Undang-undang tentang Pertanahan (RUU Pertanahan) tengah mendapatkan sorotan serta berbagi kritik. Sebab, beberapa pasalnya dinilai dapat mengancam hak kepemiikan masyarakat, terutama petani. Adapun, pasal-pasal dari RUU tersebut dapat mengkriminalisasi masyarakat yakni seperti pasal 91 yang berbunyi "Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp500 juta".
Tak hanya itu, masyarakat juga mengkritik ancaman kriminalisasi dalam pasal 95. Pasal itu menyebut setiap orang atau kelompok yang mengakibatkan sengketa lahan akan dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
"Banyak poin di RUU Pertanahan yang bermasalah. Salah satunya mengenai pidana yang berkorelasi dengan bab lain terkait hak pengelolaan. Jadi, apabila ada tanah yang tidak bisa dibuktikan oleh masyarakat akan menjadi tanah negara dan ditertibkan oleh negara. Kalau masyarakat menolak itu akan kena pidana," kata Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika saat ditemui di Kantor KPA Pancoran, Jakarta, Minggu (22/9).
Menurutnya, sebelum RUU Pertanahan ini direncanakan, UU lainnya sudah berusaha mengkriminalisasikan petani. Misalnya, UU P3H Kawasan Hutan yang mengkriminalkan petani karena dianggap telah memasuki kawasan hutan. Padahal, hutan itu merupakan kawasan pertanian dan perkampungan mereka. Namun dikriminalkan karena dianggap melakukan pelanggaran. Sehingga, RUU Pertanahan ini dinilai bisa menjadi potensi represi terhadap petani yang semakin besar.
"Ada banyak penyimpangan-penyimpangan di RUU Pertanahan yang bertentangan dengan Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) karena RUU ini hanya tambal sulam. Bayangkan saja, dalam waktu 1 bulan sudah ada 7 versi yang terus berubah. Hanya geser kata saja, atau bahasanya diganti. Bahkan ada pasal yang tadinya menyebutkan barangsiapa menjadi siapapun. Tapi seluruh pasal itu sama saja intinya tidak ada yang berubah," terangnya.
Dewi berharap, kedepannya RUU Pertanahan ini bisa ditunda, atau bahkan ditolak. Jika harus ditunda dan RUU ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selanjutnya di periode 2019-2024, pasal-pasalnya harus sungguh dibenahi untuk menciptakan keberlangsungan hidup para petani yang sejahtera.