Home Gaya Hidup Oscar Motuloh Sandang Gelar 'Empu Ageng' Fotografi

Oscar Motuloh Sandang Gelar 'Empu Ageng' Fotografi

Bantul, gatra.net – Fotografer kawakan Oscar Motuloh dianugerahi gelar ‘Empu Ageng’ oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Gelar setara doktor honoris causa ini diberikan ke Oscar karena kompetensi seni di bidang fotografi jurnalistik.

Penganugerahan gelar tersebut dilaksanakan di Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta di kampus tersebut, Bantul, Rabu (18/9). Dalam pidatonya, promotor pemberian gelar ini, Profesor Soeprapto Soedjono, menjelaskan ISI Yogyakarta menjadi pelopor pemberian gelar Empu Ageng di kampus seni Indonesia sejak 15 tahun lalu.

Oscar menyandang gelar Empu Ageng kelima. Gelar ini telah disandang oleh seniman karawitan Ki Cokrowarsito, pematung Edhi Sunarso, dalang Ki Timbul Hadi Prayitno, dan pelukis Abas Alibasyah. “Kapasitas Oscar Motuloh sebagai pewarta foto sudah tidak diragukan lagi. Hal ini karena kiprahnya di kalangan dan khazanah jurnalisme foto nasional dan Asia,” ujar Soeprapto.

Selain itu, Oscar telah mengabdikan diri di galeri foto pertama di Asia Tenggara ‘Galeri Foto Jurnalistik Antara’, menerima sejumlah penghargaan fotografi skala nasional dan internasional, hingga mengikuti 31 pameran foto secara tunggal dan bersama sejak 1997-2019. “Penganugerahan gelar Empu Ageng ini memiliki citra dan makna luar biasa bagi ISI Yogyakarta,” kata Soeprapto.

Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan menyatakan pemberian gelar ini bukan melihat dari aspek akademik, melainkan dari sisi kompetensi di bidang seni. “Melihat berbagai kreativitasnya dalam gaya fotografi jurnalistik,Oscar dikenal dengan pencapaian estetikanya yang fenomenal,” katanya.

Dengan rambut putih tergerai dan dibalut jas hitam, Oscar menyampaikan pidato “Sirkus Jurnalistik: Dari Penyusup Berita Sampai Hanya Satu Kata: Lawan!” Pidato ini merangkum sejarah awal fotografi di Eropa dan Indonesia, termasuk momen-momen penting yang diabadikan lewat fotografi.

“Kantor Berita ‘Antara’ di Pasar Baru menjadi lokasi bersejarah. Saat itu anak-anak muda menyelundupkan berita Proklamasi yang disensor karena masih jadi kantor berita Jepang. Sampai 1998, saat gerakan reformasi, anak mudajuga mengutippuisi penyair Wiji Tukul,” papar Oscar tentang judul pidatonya.

Setelah itu, Oscar juga mengenang masa mudanya saat bergabung hingga berkiprah di ‘Antara’. Menurut dia, sejak era kolonialisme ada dikotomi antara wartawan tulis dan wartawan foto. Maka sebagai jurnalis tulis yang dipindah ke bagian foto, dia kaget. “Saya seperti dibuang. Stigma pewarta foto itu wartawan kelas dua,” kata dia.

Namun sejak itu, ia bertekad memupus stigma itu dengan solusi. Oscar memulai rekrutmen pewarta foto melalui pendidikan dasar dan panduan silabus tentang jurnalistik dan foto jurnalistik, hingga melahirkan generasi pewarta foto baru Antara seperti saat ini.

“Dalam abad informatika yang berkembang lebih cepat dari cahaya, jurnalisme tengah megap-megap menghadapi peradaban yang sedang memutar arah baliknya. Jaman post-truth merupakan tantangan bagi industri pers untuk ikut memecahkan masalah,” tulis dia dalam pidato.

Untuk merayakan penganugerahan gelar ini, Oscar juga menggelar pameran tunggal ‘mataWaktu’ yang menampilkan foto-foto hitam putih dan sejumlah posterpublikasi pameran Oscar sebelumnya. Mayoritas foto mengabadikana peristiwa bencana di Nusantara seperti saat tsunami Aceh 2004 dan gempa bumi Yogyakarta 2006. Pameran digelar di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta, 18-28 September 2019.

 

789