
Jakarta, gatra.net - Pemerintah menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok secara rata-rata 23% dan 35% harga jual eceran rata-rata. Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Abdillah Hasan mengapresiasi keputusan Pemerintah ini. Sebab, berdasarkan data yang dimilikinya 70 persen laki-laki usia produktif (25 tahun hingga 45 tahun) adalah perokok aktif.
Artinya, para pekerja di Indonesia membelanjakan penghasilnya untuk membeli rokok, imbasnya ada beberapa komponen kebutuhan dasar lainnya yang tidak dapat dipenuhi. "Tidak bisa beli telur, susu. Jadi mengurangi upaya untuk menghilangkan stunting," kata Abdillah wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (17/9).
Selanjutnya, Abdillah menolak anggapan kenaikan rokok akan berdampak pada inflasi. Hitungannya, inflasi dan pertumbuhan ekonomi hanya menghasilkan 17 persen. Sehingga, jika cukai rokok rata-rata naik 23 sampai 35 persen, akan efektif untuk mengurangi perokok anak-anak. "Sebesar 23 hingga 35 persen, rinciannya belum ditetapkan, industri rokok sudah kasak kusuk. Kebijakan sudah baik secara rata-rata," jelasnya.
Lebih lanjut, Abdillah menyatakan, terdapat tiga jenis rokok. Pertama; sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret putih mesin (SPM). Menurutnya, SKM golongan 1 pangsa pasarnya menguasai 63 persen dan harganya paling tinggi.
"Perusahaan besar asing maupun non asing ada di sini. Jadi kalau pengendalian rokok dan penerimaan negara, adalah di skm 1. Padahal harganya mahal skm 1, anomali rokok mahal pun konsumsinya tinggi. Sebab, rokok paling mahal pun disukai masyarakat," ia menjelaskan.