
Washington DC, gatra.net - Amerika Serikat (AS) prihatin dengan undang-undang militer Myanmar yang menentang pemimpin agama di Myanmar, dan menindas orang-orang Kristen di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha tersebut.
"Tuntutan pidana terhadap Pendeta Hkalam Samson merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi dan berpotensi mengganggu pekerjaan kritisnya atas nama puluhan ribu orang yang dipindahkan secara internal," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus.
Dia mengatakan AS sangat prihatin oleh gugatan tersebut dan setiap keputusan untuk menangkap Pendeta Samson atas dasar pidato perlindungannya akan sangat meresahkan.
Sebelumnya, Samson hadir dalam pertemuan pada Juli lalu di Gedung Putih. Dalam pertemuan itu, para korban penganiayaan agama dari sejumlah negara bertemu dengan Trump dan pejabat AS lainnya.
Samson, yang berasal dari Kachin Baptist Convention (organisasi di negara bagian Kachin Utara), dan mewakili minoritas Kachin yang mayoritas beragama Kristen, mengatakan bahwa orang-orang Kristen ditindas dan disiksa oleh pemerintah militer Myanmar.
Dia juga berterima kasih kepada Trump atas sanksi yang dijatuhkan pada pejabat militer senior. Menurutnya, sanksi tersebut sangat membantu. "Saya pikir alasan militer mencoba menuntut saya adalah karena saya memberi tahu Donald Trump bahwa saya menghargai sanksi terhadap militer Myanmar," kata Samson.
Seperti yang diketahui, AS melarang Panglima Militer Myanmar (Min Aung Hlaing) dan tiga komandan senior lainnya beserta keluarga mereka untuk memasuki AS. Hal tersebut sebagai respons atas pembantaian muslim Rohingya di Myanmar.
Tindakan keras militer di Myanmar pada 2017 mengakibatkan lebih dari 730.000 Rohingya untuk melarikan diri ke negara tetangga, seperti Bangladesh. Para penyelidik AS mengatakan operasi Myanmar termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran geng dan dieksekusi merupakan niat genosida.
Namun, Myanmar membantah tuduhan itu, dan menyatakan sedang melakukan kampanye yang sah terhadap gerilyawan yang menyerang pos polisi dan membunuh anggota pasukan keamanan.