
Jakarta, gatra.net - Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nashir menyinggung soal peristiwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal dari Pancasila. Tujuh kata tersebut ialah "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Menurutnya, tokoh-tokoh Islam yang bertoleransi bersedia menghapus tujuh kata tersebut, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo merupakan tokoh yang punya jasa besar dalam mengintegrasikan antara keislaman dan kebangsaan.
"Karena pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika ada deadlock 7 kata dalam piagam Jakarta lalu terjadi negosiasi. Nah peran pak Kasman Singodimedjo, menjembatani dari Bung Karno dan Bung Hatta dengan Ki Bagus Hadikusumo. Dengan demikian maka dua tokoh ini yang punya tanggungjawab dalam peran integrasi nasional antara keislaman dan kebangsaan sehingga sejak itu kita sudah tutup buku," kata Haedar.
Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan tokoh Muhammadiyah dan perwakilan dari kalangan Islam bersedia untuk bersama tokoh Islam lain mencoret tujuh kata dalam piagam Jakarta. Namun, tambah Haedar, mereka meminta agar sila Ketuhanan yang semula pada posisi sila kelima dipindah menjadi sila pertama dan ditambahkan kalimat: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, Haedar Nashir menegaskan bahwa antara keislaman dan keindonesiaan bersenyawa dan tidak ada lagi kontradiksi. "Itu juga jangan dibawa pada kontradiksi oleh siapapun," tegas Haedar.
Saat ini setelah 74 tahun merdeka, tandas Haedar, menjadi tugas bagi umat Islam untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman kedalam perdamaian, pembangunan dan kemajuan.
"Saya pikir dengan dua posisi dan peran ini (keislaman dan keindonesiaan) secara bersenyawa, maka Indonesia akan lebih kuat dan lebih maju," demikian Haedar.