
Sleman, gatra.net – Kementerian Kesehatan menyatakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan lima daerah lain ingin menghadirkan pusat pengolahan limbah medis. Program ini sejalan kebijakan Kemenkes yang mengembangkan pengolahan limbah medis berbasis wilayah.
“Baru DIY yang mengajukan pengurusan perizinan. Surat pemberitahuan sudah masuk. Sedangkan lima daerah meminta pendampingan ke kami untuk mendirikan kawasan yang sama,” jelas Direktur Kesehatan Lingkungan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Imran Agus Nurali, di kampus UGM, Kamis (15/8).
Lima daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Utara, Bali, dan Jawa Timur.
Menurutnya, pengolahan limbah di daerah memberi banyak keuntungan. Biaya pengangkutan limbah jadi murah karena area pengolahan dekat dengan rumah sakit atau puskesmas. Selain itu, pengawasan pembuangan limbah jadi lebih ketat sehingga limbah tidak disalahgunakan atau dibuang di banyak tempat.
Baca Juga: Tiga Pabrik di Bantul Terbukti Buang Limbah di Irigasi
Keinginan daerah ini sejalan dengan program Kemenkes yang menargetkan selama lima tahun mendatang 80-90 persen rumah sakit dan puskesmas mampu memisahkan limbah medis untuk didaur ulang sesuai standar.
“Kehadiran pengolahan limbah medis diharapkan mampu membantu rumah sakit atau puskesmas mengelolah limbah medisnya sendiri sebelum dibuang untuk kemudian dimusnahkan. Akhir tahun ini ditargetkan 50 persen rumah sakit sudah mengolah limbah medis sendiri,” tutur Imran.
Ketua prodi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan UGM Mubasysyir Hasanbasri mengatakan, proyek kawasan pengolahan limbah di DIY tengah diurus ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca Juga: Distribusi Dokter di Indonesia Belum Merata
“Pemda DIY telah menyiapkan lahan puluhan hektar di satu lokasi. Nantinya teknologi terbaru dalam pengolahan limbah akan diterapkan,” katanya. Menurutnya, setelah beroperasi, pengolahan limbah medis DIY akan menjadi rujukan daerah lain.
Adapun Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan baru 87 dari 2.842 rumah sakit yang memiliki incinerator atau alat pembakar limbah sesuai standar dan persyaratan pemerintah.
“Rumah sakit swasta terkendala sempitnya lahan dan mahalnya biaya yang mencapai miliaran rupiah,” ucapnya.