
Jakarta, gatra.net - Ombudsman RI (ORI) menilai bahwa peraturan tentang pembatasan International Mobile Equipment Identity (IMEI) dapat menimbulkan potensi konflik di kedepannya. Baik itu di masyarakat sebagai konsumen, antara konsumen dengan penjual (toko), atau antara penjual dengan penjual.
"Ini berpotensi konflik. Bayangkan kalau ada warga dari NTT beli hp di Mall Ambasador, dibawa pulang ke kampungnya ternyata kena blokir, ini bagaimana penyelesaiannya. Di penjual juga begitu, mereka kan belum tentu tahu, HP itu diambil dari mana sama distributornya," kata Anggota Ombudsman, Alvin Lie saat acara Ngopi Bareng Ombudsman, di kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/8).
Tidak hanya itu, aturan pembatasan IMEI ini juga dapat menyulitkan masyarakat terdampak lainnya. Seperti misalnya wisatawan yang datang dari luar negeri atau warga negara Indonesia yang membeli HP di luar negeri.
"Ini nanti standar keamanannya bagaimana bagi masyarakat terdampak? Bagi mereka yang membeli HP di luar negeri atau bagi wisatawan yang datang ke Indonesia dengan membawa HP-nya? Padahal kan pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan akan datang setiap tahunnya," jelas Alvin.
Dengan mempertimbangkan hal itu, Alvin meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali urgensi dari peraturan pembatasan IMEI ini. Apakah hanya sekadar untuk melindungi pendapatan negara saja, ataukah ada motif lain dibalik pembuatan aturan yang menurut ORI terkesan tergesa-gesa itu.
Karena saat aturan ini dibuat, Alvin mengatakan, ada perusahaan yang ingin masuk untuk mengelola IMEI, dengan nominal dana yang mereka tawarkan sebesar RP 200 miliar. "Ada perusahaan menawarkan untuk mengelola IMEI dengan biaya Rp200 miliar. Semoga pengaturan ini bukan hanya kemasan untuk meloloskan perusahaan yang mau masuk ini," ujarnya.