
Palembang, gatra.net – Kebijakan satu peta yang menjadi intruksi Presiden Joko Widodo guna memperoleh satu peta utuh di Indonesia telah masuk ke tahap III, yakni sinkronisasi peta. Proses sinkronisasi tersebut ditemukan indikasi tumpang tindih yang dikira-kira mencapai 20% terjadi di Sumsel.
Kepala Pusat Pemetaaan dan Integrasi Tematik Badan Indormasi Geoparsial (BIG), Lien Rosalina menyatakan pemerintah terus berupaya menyelesaikan kebijakan satu peta yang menjadi solusi atas konflik lahan dan penataan ruang. Di Pulau Sumatera, termasuk Sumsel, prosesnya sudah masuk pada tahap sikronisasi yang dilanjutkan validasi.
“Dugaan tumpang tindih itu, harus dilakukan validasi. Di Sumsel lebih maju, karena telah terbit Peraturan Gubernur (Pergub) yang mendukung kebijakan satu peta di daerah. Sementara, indikasi tumbang tindih, itu baru kira-kira saja, karena akan divalidasi lagi mengenai angka 20%,” ujarnya usai mengisi diskusi #IniTanahKita yang diselenggarakan World Resource Institute (WRI) Indonesia, Kolektif Pelatih Fotografi Arkademy dan BEM Unsri, di Palembang, Minggu (28/7).
Diterangkannya, sinkronisasi merupakan tahap ketiga yang dilaksanakan pada kebijakan satu peta. Awalnya dilakukan kompilasi yang mengintegrasikan peta yang dimiliki oleh 19 lembaga dan 85 peta tematik di seluruh Indonesia. Proses sinkronisasi akan disusul dengan validasi serta melibatkan lembaga yang berkaitan termasuk pemerintah daerah. Targetnya pada September nanti, proses validasi bisa diselesaikan dan disusul oleh pulau lainnya, seperti Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Papua dan Jawa.
“Hasil validasi, akan menghasilkan peta tumpang tindih yang kemudian Kemenkeo Perekeonomian akan mengambil kebijakan tersebut,” ujarnya seraya menerangkan jika proses validasi yang belum dilaksanakan utuh, maka belum mendapatkan angka detail mengenai kondisi tumpang tindihnya.
Adapun sinkronisasi yang dilakukan pada tiga peta yakni peta tata ruang, peta perizinan (konsesi) dan peta kawasan hutan. Ketiga peta ini pun, sambung Lien, harus terus dilakukan perbaharuan.
“Saat ini, yang mampu mengakses peta tersebut masih terbatas, misalnya Presiden hingga Kepala Daerah. Untuk masyarakat (publik) yang ingin mengakses bisa mengajukan keinginannya ke lembaga kami. Keinginan kita, publik akan bisa lebih cepat mengakses jika satu peta sudah utuh terselesaikan, targetnya lima tahun ke depan bisa diakses publik,” terangnya.
Penanggungjawab Program Sumsel WRI Indonesia, Chandra Irawadi Wijaya mengatakan pihaknya sebagai mitra pemerintah juga terlibat dalam upaya mewujudkan kebijakan satu peta. Terdapat tumpang tindih atas tiga peta, yakni peta perizinan, kehutanan dan tata ruang yang kemudian akan memperoleh solusi program yakni kehutanan atau non kehutanan. Untuk program kehutanan, pemerintah sudah menyediakan lima skema penyelesaian yang kemudian memberikan manfaat bagi masyarakat sedangkan non kehutanan tergatung pada regulasi yang sudah diterbitkan atau dilakukan pemberharuan. “Misalnya perhutanan sosial yang memberikan akses kepada masyarakat di hutan atau sekitar hutan guna memperoleh akses hidup atas lahan,” ujarnya.