
Kebumen, gatra.net – Tak ada yang berbeda dari Pondok Pesantren Al Hasani dengan pesantren-pesantren lainnya. Seperti pada umumnya pondok pesantren, tiap hari santri mengaji, berzikir, serta beraktivitas keagamaan lainnya.
Para santri juga mengenakan sarung, kopiah dan baju koko atau baju lengan panjang. Bedanya, adalah muasal santri di pesantren yang berada di Desa Jatimalang, Alian, Kebumen ini.
Sebagian besar pesantren tentu saja santrinya berasal dari keluarga baik-baik. Tetapi, pesantren ini justru sebaliknya, memiliki spesialisasi ‘memensiunkan preman’ atau anak jalanan. Mereka memiliki hak yang sama untuk menempa diri dengan ilmu agama.
Di antara mereka, ada yang bekas anak jalanan, preman terminal, atau anak nakal. Tetapi, di tempat ini kesan itu luntur. Mereka kemudian insaf. Mereka berupaya mencari jalan yang benar menuju Tuhannya. Pendek kata, mereka memang benar-benar preman pensiun.
Preman, yang diidentikkan dengan kehidupan ugal-ugalan kini berubah lebih santun di pesantren ini. Layaknya santri, mereka mengaji Alquran, kitab kuning, dan tentu saja, akidah dan akhlak.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hasani, Kiai Asyhari Muhammad Al Hasani, mengatakan, ada pandangan negatif yang menyebabkan anak jalanan sulit bersosialisasi secara normal dengan kelompok masyarakat lainnya. Tetapi, pesantrennya dengan tangan terbuka memberi kesempatan kepada anak-anak yang berasal dari semua kalangan untuk belajar agama.
Informasi kesempatan untuk belajar agama itu ternyata beredar begitu cepat. Secepat itu pula, banyak santri berdatangan. Selain dari Kebumen, santri juga berasal dari Kabupaten Brebes, Lampung, hingga Palembang.
"Siapa pun mereka, yang ingin mengaji di ponpes kami, kami terima seutuhnya. Mereka datang dari mana tidaklah penting. Kami justru merasa senang bisa membimbing dan membuat mereka insaf,” ucap ulama muda yang akrab dengan panggilan Gus Hari ini, beberapa waktu lalu.
Dengan bimbingannya, puluhan anak jalanan yang begitu dekat dengan miras, narkoba, dan tindak kriminal lain itu belajar agama dengan sungguh-sungguh.
Gus Hari juga yang juga Ketua Forum Anak Jalanan Insyaf Mengaji (FAJIM) meyakini, semua orang memiliki sisi baik. Melalui metode khusus dan bacaan doa, anak jalanan akan insaf. Ia mendekati santri dengan hati.
Setiap Selasa malam, para santri mengikuti mujahadah Rotibul Hadad, yakni sebuah pengajian dan doa untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kegiatan lainnya juga dilakukan, yaitu belajar Alquran, fikih, nahwu shorof, dan sebagainya.
Dia menyadari, para santri kelak bakal menghadapi dunia nyata seusai mondok di pesantren. Karenanya, pesantren juga membekali santri dengan kemampuan berwira usaha, seperti beternak dan keterampilan lainnya.
Seorang santri, yang juga berlatar belakang “kelam”, Puji Tatto mengaku menemukan kedamaian setelah menimba ilmu agama dan tinggal di Ponpes Al Hasani. Secara rutin, ia mengikuti program FAJIM. “Hati saya menjadi tenang, dan saya sekarang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang meresahkan masyarakat,” kata Puji.