
Jakarta,gatra.net - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang terdiri dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Legal Roundtable (ILR), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) melakukan pemantauan terhadap calon hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Temuan-temuan kita hari kamis (4/7) sudah diterima Mahkamah Agung," ungkap Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi ICW, Tama Satrya Langkun dalam konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Minggu (7/7). Ia menjelaskan ada 125 calon hakim ad hoc yang ditelusuri rekam jejaknya.
Peneliti MaPPI FHUI, Josua Satria Collins mengatakan, dari 125 calon hakim, 80 diantaranya merupakan advokat, 16 dosen, 13 hakim, dan sisanya latar belakang lainnya. Adapun 88 mendaftar untuk Pengadilan Negeri (pertama) dan 37 untuk Pengadilan Tinggi (banding).
"Kita pakai kriteria dari Pasal 12 UU No. 46 th 2019. Kami junjung kompetensi, integritas, dan independensi calon hakim," ujarnya.
Josua menceritakan pihaknya mulai melakukan pemantauan rekam jejak digital para calon mulai 13 Juni, kemudian melakukan pemantauan di lapangan mulai 21 Juni. "Kami kunjungi tempat kerja, kediaman, dan konfirmasi kepada teman-teman beliau," terangnya.
Peneliti ILR Rizky Yudha mengatakan bahwa penelusuran tersebut adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam dunia demokrasi Indonesia.
"Berdasarkan CV yang kami telusuri, banyak syarat yang belum memenuhi. Seluruh peserta melampir surat keterangan sehat, tapi kebanyakan hanya jasmani. Seharusnya melampirkan kesehatan jiwa juga," ungkapnya.
Terkait syarat pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum, Rizky menjelaskan ada sembilan orang yang tidak memenuhi syarat. Bahkan, Ia mengaku pihaknya menemukan pelamar advokat yang tidak melampirkan lisensi advokat dan tidak memiliki alamat kantor hukum yang jelas.
Kemudian, Ia menyoroti kedisiplinan calon hakim dalam pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
"Dari 41 orang yang wajib lapor, terdapat 18 orang yang tidak melaporkan kekayaannya," ujarnya.
Selain itu, Rizky menyoroti bahwa banyak peserta yang tidak memiliki bentuk-bentuk publikasi, rekam jejak, atau hal lain yang melegitimasi kompetensi calon hakim di bidang tindak pidana korupsi. Bahkan, ada 9 calon yang pernah mendampingi tersangka korupsi.
"Kami juga mengkhawatirkan adanya afiliasi parpol adalah adanya konflik kepentingan tipikor," keluhnya. Ia menambahkan ada 16 calon hakim yang memiliki afiliasi politik tertentu.
Kemudian, Rizky meminta kepada MA untik mendalami kembali 18 calon yang sudah mendaftarkan diri lebih dari satu kali.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu mengungkapkan pihaknya kerap menerima laporan mengenai berlarutnya pengiriman berkas perkara, terlambatnya pemberian salinan putusan, ketidakjelasan jadwal sidang, adanya kesalahan penulisan putusan perkara, adanya kesalahan objek eksekusi putusan pengadilan, serta pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
Menurutnya, hal tersebut terkait erat dengan kompetensi, integritas, dan independensi seorang hakim.
"Perlu hakim yang punya kompetensi, independensi, dan integritas atau impartial just. Sampai saat ini, diskrepansi (ketidaksesuaian).peradilan masih dipertanyakan oleh masyrakaat," tegasnya.