
Jakarta, gatra.net - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan 72 kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia selama setahun terakhir ini. Mayoritas penyiksaan dilakukan oleh pihak berwajib.
"Kita menemukan Polisi masih menjadi pelaku dominan dalam praktek penyiksaan, disusul kemudian sipir dan TNI," jelas Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Rabu (26/6).
Rincian 72 kasus penyiksaan yaitu, 57 kasus dilakukan aparat kepolisian, delapan kasus oleh sipir, dan tujuh kasus oleh tentara. Kasus penyiksaan oleh polisi, lanjut Rivanlee, kerap terjadi di level Polres dan Polsek.
"Kita melihat bahwa praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian itu sering kali bermula untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai suatu peristiwa dari tersangka ataupun saksi. Biasanya terjadi di sel tahanan atau di ruang-ruang penyidikan lainnya," paparnya.
Rivanlee menambahkan, tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sering kali terjadi karena salah tangkap dan bukan murni kriminal. Ia menegaskan, meskipun pada pelaku kriminal sekalipun penggunaan tindakan penyiksaan tidak dapat dilegalkan.
"Persoalan salah tangkap ini menjadi modus yang kita temui juga di pendampingan-pendampingan KontraS dengan motif pengakuan. Kita melihat bahwa ada kegagalan polisi dalam mendalami suatu peristiwa," katanya.