Kejahatan cyber crime, hoax serta hate speech makin merajalela di dunia maya Meskipun banyak pelaku yang ditangkap maupun dipenjara, namun tidak menimbulkan efek jera.
GATRAreview.com - Cyber crime atau kejahatan siber secara hukum mengacu pada aktivitas kejahatan dengan menggunakan komputer atau jaringan komputer sebagai alat, sasaran, atau tempat terjadinya kejahatan. Tindak pidana cyber crime diantaranya yaitu penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit atau carding, confidence fraud (penipuan kepercayaan), penipuan identitas, dan pornografi anak serta hate speech.
Polisi mencatat kejahatan siber mengalami peningkatan cukup tajam setiap tahunnya. Untuk mengatasi kejahatan siber yang semakin meluas, maka pada 2017, Polri telah mengembangkan Subdit Cyber Crime menjadi Direktorat Cyber Crime atau dibawah Bareskrim Mabes Polri, yang kini dikepalai oleh Brigjen Rachmad Wibowo. Hal itu dilakukan agar Polri bisa mengatasi masalah di dunia maya dengan lebih baik.
Direktur Tindak Pidana Siber Mabes Polri, Brigjen Rachmad Wibowo mengungkapkan kejahatan siber didominasi oleh penipuan. "Threat paling besar di Indonesia itu fraud (penipuan). Baru setelahnya ada hoaks, blasphemy, hate speech. Makin banyaknya aplikasi yang beredar, maka membuat orang mudah tertipu," ujar Rachmad. Dia menjelaskan meski selama ini penipuan siber mengakibatkan kerugian materi yang tidak banyak, tetapi telah memakan banyak korban yang tersebar di banyak daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber (Dit Tipidsiber) Bareskrim Polri yakni Januari-Oktober 2017, jajaran Polri telah menangani 1.763 kasus kejahatan siber di Indonesia. Dari angka tersebut, Polri sudah menyelesaikan perkara (crime clearance) cyber crime sebanyak 835 kasus. Penyelesaian kasus itu dikategorikan dari berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) atau surat permohonan penghentian proses penyidikan (SP3). Dalam data tersebut, kejahatan siber yang paling tinggi adalah penipuan.
Kejahatan Siber meningkat dua kali lipat sepanjang 2018. Polri mencatat pada 2018 terdapat 4.000 laporan tindak pidana siber. Rachmad menjelaskan laporan itu tersebar di seluruh wilayah, meski hampir separuh laporan Polda Metro Jaya. Guna menangani maraknya kejahatan siber, Polri telah membentuk subdit cyber crime yang berada di 34 Polda se-Indonesia dengan harapan setiap kasus kejahatan siber dapat ditangani secara maksimal di setiap daerah.
Peningkatan kasus kejahatan siber juga disampaikan oleh Teguh Arifiyadi, Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). "Beberapa tahun ini kami mengalami lonjakan peningkatan yang cukup tinggi terkait kasus cyber crime. Jika tahun 2016 kami menangani 6300 konten, tahun 2017 sudah melonjak menjadi 60 ribu kasus," jelas Teguh. Setiap hari, lanjut Teguh, Kominfo selalu melakukan monitoring terhadap akun-akun berpotensi cyber crime dan timnya mempunyai data lalu lintas akun di media sosial, mulai dari Twitter, Instagram, Facebook, dan lain sebagainya.
Untuk mendukung pengungkapan kasus cyber crime, selain penguatan kapasitas personel Polri juga diperlukan dukungan perangkat teknologi yang canggih. Kepolisian mengklaim teknologi yang dimilikinya saat ini termasuk yang terbaik di Asia, sehingga perbuatan hukum yang meninggalkan jejak digital akan terungkap."Teknologi yang dimiliki Polri saat ini bisa dikatakan masuk yang terbaik di kawasan Asia dan SDM yang mengawakinya memiliki kompetensi tinggi. Rekam jejak digital seperti apapun pasti bisa terbongkar," tegas Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta.
Apa yang diungkapkan oleh Dedi Prasetyo tidaklah berlebihan, karena kni Polri sudah mampu mengendus kejahatan siber dan mengungkap pelakunya dengan cepat. Misalnya penyebaran hoax yang viral di media sosial dimana pelakunya bisa langsung ditangkap dalam tempo singkat. Malah dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, jajaran Polri sanggup menyingkap tindak kejahatan yang dilakukan melalui akun tanpa nama atau anonym. Kesigapan polisi dalam menguak kejahatan yang dinilai meresahkan masyarakat ini sebagai bukti aparat penegak hukum mampu melakukan peningkatan layanan di era digital.
Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Josua Sitompul kepada wartawan menjelaskan, beberapa cara yang dilakukan oleh Tim Cyber Crime untuk melacak seseorang sebagai pemilik atau admin akun anonim. Pertama, menurut Josua yakni dengan melihat pola tulisan. ”Kadang-kadang ada orang yang membuat satu tulisan itu sangat spesifik. Misalnya, kalau menulis thanks itu ‘tks’, orang lain ‘tx’ dan sebagainya atau mungkin juga dari pola tulisannya yang lain. Kesesuaian pola tulisan tersebut dapat dilihat dengan cara membandingkan konten yang ada di dalam akun anonim dengan konten yang ada di blog atau website resmi milik orang tersebut, “ terang dosen Cyber Law di Universitas Pancasila ini.
Kedua, lanjut dia, dengan pencarian IP address si pelaku. Untuk kasus-kasus jejaring sosial seperti facebook dan twitter, pelacakan IP address sulit didapatkan. “Media sosial kan servernya di Amerika, jadi memiliki kesulitan yang signifikan untuk minta IP ke mereka ketika akan melacak akun anonym. Saya punya pengalaman yang cukup panjang ketika meminta IP address kepada salah satu media sosial.Untuk mendapatkan IP address, pemohon harus memenuhi hukum yang berlaku di Amerika. Hal inilah yang tidak mudah” ujar Josua.
Selain itu, menurut Josua, Polri juga akan melakukan digital forensik. Ada beberapa proses yang dilakukan dalam digital forensik, salah satunya dengan identifikasi. Ia menjelaskan identifikasi dilakukan untuk memeriksa dengan seksama barang atau sistem elektronik yang mengandung informasi atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan alat bukti. Meski demikian, untuk membuktikan sebuah kasus, tidak hanya bergantung pada alat bukti elektronik.
“Kita lihat bagaimana jaksa di pengadilan bisa membuktikan dari saksi-saksi mereka, surat-surat yang mereka punya, juga ahli-ahli yang mereka hadirkan. Kasus cyber crime tidak selalu menekankan pada alat bukti elektronik semata. Pembuktian-pembuktian yang konvensional, alat bukti-alat bukti konvensional (yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP), juga masih sangat relevan untuk digunakan,” pungkas mantan Kepala Unit Penegakan Hukum, Divisi Investigasi dan Penegakan Hukum Kominfo ini.
Dudun Parwanto