
Jakarta, gatra.net - Sejarawan dan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi berharap agar kampung-kampung di Jakarta, terlebih kampung asli Betawi dilindungi eksistensi serta sejarahnya.
"Soal kampung itu harus bertahan, iya harus dilindungi. Nama-nama asli itu dilindungi, jangan diganti-ganti. Karena kita akan kehilangan jejak sejarah," kata Ridwan kepada gatra.net saat ditemui di kawasan Pekojan, Jakarta, Sabtu (22/6).
Ridwan mencontohkan di antara kampung Betawi yang masih eksis ialah di Gang Mangga, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Kampung ini terdiri dari 200 Kepala Keluarga (KK) dan berada dalam satu Rukun Warga (RW). Selain itu ialah di kawasan Kebon Dalem, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Baca Juga: Fatahillah Ternyata Yahudi dan Hoaks Lain Sejarah Jakarta
Sementara untuk berbagai daerah yang sudah berganti nama, Ridwan meminta kepada Pemerintah DKI agar dikembalikan ke nama asli sesuai sejarahnya. "Misalnya Gang Sekot itu kan nama goa, letaknya sekarang di Rumah Sakit Budi Kemuliaan. Itu kok jalan dijadiin dari nama rumah sakit, Jalan Budi Kemuliaan. Mustinya kembali ke Gang Sekot. Jadi kita tahu sejarah bahwa di situ pernah ada goa kan," tutur Ridwan.
Kemudian kendati tidak sepakat dengan sejarah peringatan Hari Ulang Tahun DKI Jakarta, ia berharap Jakarta bisa kembali menjadi kota yang beradab dimana warganya memiliki disiplin sosial.
"Kalau harapan saya dengan Jakarta ya, enggak terkait dengan HUT yang yang hoaks itu, harapan saya dengan Jakarta disiplin saja diajarkan. Karena disiplin makin parah. Disiplin sosial itu yang paling pokok," ujar Ridwan.
Baca Juga: Soto Tangkar Haji Diding, Soto Gurih berasa Daging Asap
Ridwan menceritakan pengalamannya selama hidup di Jakarta. Menurutnya dahulu Jakarta kota yang tertib dan ramah.
"Ya kan sebagaimana waktu 1950 saya pernah mengalami, kita naik oplet, tahu-tahu kayak di tengah keluarga. Orang pada ajak ngomong. Sekarang mana ada orang ngobrol di kendaraan umum, kagak ada. Malah ada yang saling waspada. Enggak ada interaksi tuh. Kita harus harmonis. Itu yang dikerjakan dahulu yaitu peradaban, peradaban itu yang hilang," pungkas sejarawan berusia 76 tahun ini.