Home Milenial Saat Mahasiswa Non-Muslim Berlebaran

Saat Mahasiswa Non-Muslim Berlebaran

Sleman, gatra.net - Suasana dan tradisi di hari Lebaran ternyata bukan hanya meninggalkan kesan bagi umat Islam. Mahasiswa non-muslim di perantauan ternyata juga punya kesan tersendiri di momen budaya yang hanya ada di Indonesia ini.

Cerita itu datang dari Ni Nyoman Oktaria Asmarani, mahasiswi Fakultas Filsafat UGM 2015 yang menghabiskan libur Lebaran jauh dari rumah.

Mahasiswi penganut Hindu asal Bali itu tak pulang ke kampung halaman karena ingin fokus merampungkan skripsinya. Namun Rani, panggilan akrabnya, harus mengubah rencana ketika ia diajak ke Madiun, kampung halaman sohibnya.

Rani tak tega saat mendengar Kurnia, kawan kosnya itu, berencana mudik mengendarai sepeda motor sendirian sehari sebelum Lebaran. “Tapi kami akhirnya dapat tiket kereta. Lumayan, aku enggak pernah merasakan Lebaran di Bali. Jadi ini menarik bagiku,” ujar Rani pada gatra.net, Rabu (20/6) lalu.

Rani dan Kurnia, mahasiswi Fisipol 2015, pun menuju Caruban, Kabupaten Madiun, menggunakan kereta api pada 4 Juni, H-1 Lebaran. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, sesampai di sana mereka langsung disambut oleh kemeriahan malam takbir. 

Baca Juga: Mahasiswa Mancanegara di Yogyakarta, Betah karena Keramahan Warga dan Kulinernya

Rani mengatakan mendapat banyak pengalaman baru, salah satunya menyaksikan takbir keliling. “Selama hampir 20 tahun di Bali dan 4 tahun di Yogyakarta aku belum pernah lihat kemeriahan kayak gini,” ujar Rani.

Rani diterima dengan baik oleh keluarga Kurnia. Selama di sana ia pun merasa nyaman. Di hari Lebaran, Rani diajak bermaafan dan berkeliling ke rumah-rumah kerabat Kurnia. Di sana, ia mendapat aneka suguhan makanan ala Lebaran.

“Enaknya di sana aku enggak dianggap asing. Mereka justru antusias banget dengan kehadiranku. Mereka banyak tanya soal Bali seperti apa, tapi enggak ada pertanyaan yang membuat tidak nyaman. Semua baik. Setiap datang ke rumah kerabat selalu dapat makan. Kenyang banget,” ujar Rani diiringi tawa.

Namun di hari kedua Lebaran, kabar duka menerpa kelurga Kurnia. Salah satu kerabat di Jakarta meninggal dunia. Kabar tersebut membuat kedua orangtua Kurnia harus berangkat menuju Jakarta.

Alhasil Rani dan Kurnia harus menjaga rumah dan menerima tamu yang datang sepanjang sisa libur Lebaran. “Keluarga Kurnia bekerja sebagai peternak sapi perah. Jadi selama di sana aku juga ikut bantu-bantu terima tamu sekaligus nyiapin susu untuk dijual,” tutur Rani.

Rani merasa senang turut merasakan suasana Lebaran di rumah Kurnia selama satu minggu. Semua tradisi seperti sungkeman, mengunjungi kerabat, makan bersama, membuat Rani teringat akan rumahnya.

Menurutnya, banyak tradisi Lebaran tak berbeda jauh dengan kebiasaan saat perayaan hari besar Hindu di Bali.

Baca Juga: Sediakan Sahur Gratis, Masjid Dekat UGM Ini Diserbu Mahasiswa

Momen Lebaran juga meninggalkan kesan bagi Bernard Evan Kanigara, mahasiswa Teknik Elektro UGM 2015. Bernard, berasal dari Semarang dan alumni SMA Kolese Loyola di kota itu, seorang penganut Katolik.

Bernard berkata sudah terbiasa mengikuti acara Lebaran bersama keluarga besarnya yang beragama Islam di Yogyakarta. Sebagai penganut Katolik, ia tak sungkan untuk turut berbaur dan bersilaturahmi.

“Tradisi keluarga ini sudah dijalankan sejak lama, sudah menjadi kebiasaan sebagai keluarga besar. Ketika Natal, keluarga yang muslim juga berkunjung ke simbah (kakek) saya yang beragama Katolik. Tradisi mengunjungi ini memang tidak terbatas agama,” ujar Bernard saat ditemui gatra.net di kampusnya, Jumat (21/6).

Selama kumpul keluarga, ia pun menjalani tradisi bermaafan, sungkem, makan bersama, saling bertukar kabar, dan menerima amplop berisi uang tunai dari kerabat yang lebih tua. "Ini yang paling saya suka," kata dia sambil tertawa.

Selain itu, ada yang khas dari setiap pertemuan keluarga besarnya kala Lebaran. Saat kumpul keluarga ditutup, ada pidato dengan bahasa Jawa krama oleh anggota keluarga laki-laki paling tua.

"Kalau kumpul keluarga seperti itu saya rasa selalu ada fungsi gatekeeping, semacam pengawasan dan pengingat anggota keluarga besar agar hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut keluarga,” ungkap Bernard.

Reporter: Thovan Sugandi

839