Home Politik Akademisi Meminta Warga Belajarlah Dari Sumut

Akademisi Meminta Warga Belajarlah Dari Sumut

Medan, gatra.net - Panasnya dinamika politik Pilpres 2019 ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan dinamika politik Pilgub Sumut 2018. Sama-sama dua pasangan calon yang berkompetisi, sama-sama syarat dengan isu bernuansa SARA dan representasi kedua Paslon (Pilpres dan Pilgub) bisa dikatakan sama.

Pakar komunikasi dan akademisi di Sumatera Utara (Sumut), Aswan Jaya mengatakan Sumut miniaturnya Indonesia. Sumut memiliki heterogenitas yang begitu lengkap. Baik dari sisi suku bangsa, bahasa dan agama. Saat Pilgub Sumut, banyak pihak yang mengkhawatirkan ada potensi kerusuhan bernuansa SARA. Termasuk di proses maupun setelah Pilgub Sumut. Namun faktanya kekhawatiran tersebut tidak terjadi.

Pasca penetapan pemenang Pilgub Sumut oleh KPUD, pihak yang kalah menyatakan secara terbuka kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada pihak yang menang. Masyarakat Sumut yang sebelumnya terpolarisasi pada dua pasangan calon menerima hasil Pilgub tersebut.

“Masyarakat Sumut kembali bisa duduk bersama, ngopi bareng lagi dengan berbagai canda khas Sumut. Tidak ada rasa dendam atau kecewa kepada jiran tetangganya atau bahkan mungkin dengan keluarganya sendiri yang berbeda pilihan,” katanya di Medan, Rabu (28/5).

Menurutnya semua bisa terbentuk dan terbangun karena masyarakat Sumut sudah dewasa dan terdidik untuk hidup dalam perbedaan. Serta terbiasa meleburkan diri dalam pesta budaya walau berbeda suku. Semuanya itu dilakoni dengan penuh kegembiraan dan persaudaraan.

Masyarakat Sumut sangat memahami bahwa pemilu itu adalah pesta demokrasi dan pesta politik. Pemilu bukanlah penyebab terbentuknya kasta yang menyebabkan kita tidak bisa duduk bersama lagi. “Ayo, belajarlah dari masyarakat Sumut dalam berdemokrasi,” ujarnya.

Dan untuk masyarakat Sumut pasca Pilpres ini, diharapkan mempertahankan kedewasaan dalam perbedaan pilihan. Serta jangan terprovokasi dengan sekelompok orang yang belum dewasa berdemokrasi. “Jangan hanya karena ingin populer dan viral lalu mengorbankan apa yang selama ini telah dibangun bersama. Hidup dalam perbedaan itu indah, hidup dalam perbedaan itu adalah ilmu, hidup dalam perbedaan itu adalah anugrah Allah,” katanya.

Reporter: Baringin Lumban Gaol

226