Home Politik Aktivis 98 Yogyakarta: Politik Identitas Tantangan Berat Bangsa Hari Ini

Aktivis 98 Yogyakarta: Politik Identitas Tantangan Berat Bangsa Hari Ini

Bantul, gatra.net – Kalangan aktivis 1998 sepakat bahwa tantangan setelah 21 tahun reformasi adalah maraknya politik identitas yang berusaha merongrong konsensus kebangsaan yang dibangun pendiri bangsa.

Hal ini mengemuka dalam 'Diskusi Refleksi 21 Tahun Gerakan Reformasi: Melanjutkan Tugas Kebangsaan Kita’ yang digelar di  resto Kampoeng Mataraman, Bantul, pada Senin (20/5) petang.

Hadir sebagai narasumber diskusi mantan aktivis UGM Ari Sujito, mantan Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Abdul Rozaki, mantan senat Universitas Janabrada (UJB) Heri Sebayang, mantan aktivis Institut Seni Indonesia (ISI) Noor Janis, mantan Wakil Ketua Senat UPN Veteran Iranda Yudhatama, dan aktivis Gang Rode Supriyanto Antok.

“Keprihatinan kita masih tetap pada ketidakadilan seperti lagu ‘Darah Juang’ yang kini masih ada. Namun ada hal yang lebih besar yang harus dilawan yaitu hadirnya politik identitas,” kata Supriyanto Antok.

Pada masa reformasi, gerakan mahasiswa dan aktivis pro demokrasi berhadapan dengan rezim yang menindas rakyat. Namun sekarang bangsa ini melawan politik identitas yang membuat banyak orang kehilangan akal sehat dan rasionalitas.

Dalam pandangan Antok, politik identitas yang sekarang marak dan sudah merasuki dunia perguruan tinggi adalah ancaman bagi konsensus kebangsaan. Konsensus bangsa sepakat negara ini didirikan untuk semua, bukan untuk satu golongan dan agama.

“Dulu gerakan mahasiswa dan pro demokrasi tidak pernah mengancam konstitusi negara dan saluran penyampaian pendapat sesuai dengan yang disepakati,” lanjutnya.

Dalam pandangannya, Ari Sujito melihat politik identitas lahir karena maraknya disorientasi dalam membaca ke-Indonesia-an yang multikultur ini.

“Disorientasi ini disebabkan kondisi dunia perpolitikan kita yang tidak solid dan solutif. Partai politik menerapkan semangat politik berbiaya tinggi sehingga menjauhkan mereka dari rakyat,” katanya.

Menurut Ari, multipartai yang sekarang ini diterapkan Indonesia  tidak memberi harapan. Partai-partai yang dibayangkan akan mengisi demokrasi malah tidak menggambarkan hal itu.

Ari justru heran di tengah semakin baiknya pelayanan publik, namun ada pihak yang ingin merusak kembali tatanan tersebut dengan memainkan isu agama dan identitas. Kondisi ini bahkan terjadi ketika banyak orang mengingatkan kembali soal Bhinneka Tunggal Ika dan pluralitas.

“Politik identitas ini hanya terjadi di elit politik. Sedangkan di rakyat kecil sama sekali tidak ada,” katanya.

Adapun Heri Sebayang yang juga Ketua DPD Demokrat DIY melihat tantangan mahasiswa dan pendukung demokrasi saat ini berbeda dengan 21 tahun lalu.

“Namun ketidakadilan seperti yang terlantun dalam lagu ‘Darah Juang’ seperti anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja, itu masih ada,” katanya.

Menurut Heri, sekarang ini kesenjangan sosial dan ketidakadilan  harus dilawan sehingga gambaran dalam lagu Darah Juang tak ada lagi.

 

 

 

 

883